Skip to main content

MAKALAH DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)

MAKALAH DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)


BAB I
A.  LATAR BELAKANG
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) atau Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (Nursalam, 2005). Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak. Penyakit ini juga sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Anak-anak dengan DHF umumnya menunjukkan peningkatan suhu tiba-tiba yang disertai dengan kemerahan wajah dan gejala konstitusional non-spesifik yang menyerupai DF, seperti anoreksia, muntah, sakit kepala, dan nyeri otot atau tulang dan sendi (WHO, 1999).
Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplement. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.
Wabah demam dengue di Eropa meletus pertama kali pada tahun 1784, sedangkan di Amerika Selatan wabah itu muncul diantara tahun 1830 – 1870. Di Afrika wabah demam dengue hebat terjadi pada tahun 1871 – 1873 dan di Amerika Serikat pada tahun 1922 terjadi wabah demam dengue dengan 2 juta penderita. Dalam kurun waktu 4 tahun yaitu pada tahun 2007-2010, kasus DBD di Indonesia meningkat tiap tahunnya. Terdapat dua puncak epidemik di tahun 2007 terdapat 158.115 kasus dan 2009 terdapat sekitar 158.912 kasus. Pada tahun 2008 terdapat 137.469 kasus (Insiden Rate = 59,02 per 100.000 penduduk) dan tahun 2010 mencapai sekitar 140.000 kasus.
Provinsi Jawa Tengah dapat dikatakan sebagai provinsi yang endemis untuk penyakit DBD. Berdasarkan data dari profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 terdapat sebanyak 20.565 kasus, tahun 2008 sebanyak 19.307 kasus, tahun 2009 kasus turun menjadi 18.728 kasus dan pada tahun 2010 sekitar 17.000 kasus DBD.
B.  TUJUAN
1.    Tujuan Umum
a.       Mahasiswa mampu menjelaskan DHF
2.    Tujuan Khusus
a.       Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian DHF
b.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan etiologi DHF
c.       Mahasiswa mampu mendeskripsikan vektor DHF
d.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan epidemiologi DHF
e.       Mahasiswa mampu mendeskripsikan manifestassi klinis untuk DHF
f.       Mahasiswa mampu mendeskripsikan patofisiologi DHF
g.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan pathways DHF
h.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan temuan laboratorium pada DHF
i.        Mahasiswa mampu mendeskripsikan komplikasi dan manifestasi takunum DHF
j.        Mahasiswa mampu mendeskripsikan pentahapan keparahan DHF







BAB II
A.  TINJAUAN PUSTAKA
1.         Pengertian Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
Dengue ialah suatu infeksi arbovirus (arthrop-borne virus) akut, ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes (FK UI, 1985, hlm. 607). Dengue Hemorrhagic fever (DHF) atau Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (Nursalam, 2005). Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak. Penyakit ini juga sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah.
Demam berdarah dengue atau DHF adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dan ditandai dengan empat gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya renjatan (sindroma renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan kematian (Soe soegijanto, 2002).
Demam berdarah dengue adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi perdarahan, dan bertendendi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Mansjoer, 2005). Puncak kasus DBD terjadi pada musim hujan yaitu bulan Desember sampai dengan Maret.
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (Suriadi, 2010). Menurut Aziz Alimul H. (2006) Dengue Haemorargic Fever (DHF) merupakan penyakit yang disebabkan oleh karena virus dengue yang termasuk golongan arbovirus melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Penyakit ini lebih dikenal dengan sebutan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Demam berdarah dengue ialah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama (Soeparman, 1993).


2.         Etiologi DHF
Virus dengue termasuk dalam kelompok arbovirus B. Dikenal 4 serotipe virus dengue yang saling tidak mempunyai imunitas silang. Sabin adalah orang pertama yang berhasil mengisolasi virus dengue, yaitu dari darah penderita sewaktu terjadi epidemi demam dengue di Hawaii dengan nama tipe 1, sedangkan virus dari penderita demam dengue yang berasal dari New Guinea diberi nama tipe 2 (FK UI, 1985).
Virus dengue tipe 1 dan tipe 2 berhasil diisolasi dengan menyuntik darah penderita secara intrakutis pada anak tikus putih muda. Dari serum penderita yang diserang Philippene hemorrhagic fever yang terjadi di Manila pada tahun 1953 dapat diisolasi tipe virus dengue baru yang diberi nama virus dengan tipe 3 dan 4. Virus dengue dengan tipe 1 dan tipe 2 berhasil diisolasi dengan menyuntik darah penderita secara intrakutis pada anak tikus putih muda. Dari serum penderita yang diserang Philippine hemorrhagic fever yang terjadi di Manila pada tahun 1953 dapat disolasi tipe virus dengue baru yang diberi nama virus dengue tipe 3 dan tipe 4. Ae. Albopictus sel C6/36, “a clone of Singh’s Ae. albopictus cells” untuk mengisolasi virus. Biakan jaringan itu diberi kode sel c6/36 dan disebut “a clone of  Singh’s Ae. albopictus cell” karena Singh adalah sarjana pertama yang membuat biakan jaringan Ae. albopictus, sedangkan kloning biakan jaringan dikembangkan oleh Igarashi. Isolasi virus dengue dengan menggunakan biakan jaringan nyamuk Ae, aegypti atau Ae, albopictus disebut mosquito inoculation technique yang merupakan suatu teknik baru, sangat sensitif, sederhana dan murah. Sensitivitas isolasi bergantung pada serotipe virus, macam strain, macam biakan jaringan, asal biakan jaringan, jumlah pasase biakan jaringan dan lain-lain (FK UI, 1985).

3.         Vektor DHF
Sampai saat ini telah diketahui beberapa nyamuk sebagai vektor dengue. Walaupun Ae. aegypti diperkirakan sebagai vektor utama penyakit Dengue hemorrhagic fever (DHF), pengamatan epidemiologis dan percobaan penularan di laboratorium membuktikan bahwa Ae. scuttelaris dan Ae (FK UI, 1985). Polynesiensis yang terdapat di Kepulauan Pasifik Selatan dapat menjadi vektor demam dengue. Di Kepulauan Rotuma di daerah Fiji pada waktu terjadi wabah demam dengue pada tahun 1971 – 1972, Ae. rotumae dilaporkan sebagai satu-satunya vektor yang ditemukan. Di pulau Ponape, kepulauan Caroline sebelah Timur pada tahun 1974 terjadi letupan wabah dengue; virus dengue tipe 1 telah berhasil diisolasi pada stadium akut dari darah penderita dan ternyata Ae. hakansomi merupakan vektornya. Ae. cooki diduga merupakan vektor pada waktu terjadi wabah semam dengue di Nieue. Di Indonesia, walaupun vektor DHF belum diselidiki secara luas,  Ae. aegypti diperkirakan sebagai vektor terpenting didaerah perkotaan, sedangkan Ae. albopictus di daerah pedesaan.

4.         Epidemiologi DHF
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue fever, dengur hemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS); yang terakhir dengan mortalitas tinggi yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat (FK UI, 1985). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan dengan sebuah gunung es. DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus-kasus dengue ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung es. Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah terjadi 150 – 200 kasus silent dengue infection.
Wabah demam dengue di Eropa meletus pertama kali pada tahun 1784, sedangkan di Amerika Selatan wabah itu muncul diantara tahun 1830 – 1870. Di Afrika wabah demam dengue hebat terjadi pada tahun 1871 – 1873 dan di Amerika Serikat pada tahun 1922 terjadi wabah demam dengue dengan 2 juta penderita.
Dalam kurun waktu 4 tahun yaitu pada tahun 2007-2010, kasus DBD di Indonesia meningkat tiap tahunnya. Terdapat dua puncak epidemik di tahun 2007 terdapat 158.115 kasus dan 2009 terdapat sekitar 158.912 kasus. Pada tahun 2008 terdapat 137.469 kasus (Insiden Rate = 59,02 per 100.000 penduduk) dan tahun 2010 mencapai sekitar 140.000 kasus.
Provinsi Jawa Tengah dapat dikatakan sebagai provinsi yang endemis untuk penyakit DBD. Berdasarkan data dari profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 terdapat sebanyak 20.565 kasus, tahun 2008 sebanyak 19.307 kasus, tahun 2009 kasus turun menjadi 18.728 kasus dan pada tahun 2010 sekitar 17.000 kasus DBD.
Di beberapa negara penularan virus dengue dipengaruhi oleh adanya musim, jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan curah hujan. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, akan tetapi secara garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan September sampai Februari dan mencapai puncaknya pada bulan Januari. Di daerah urban yang berpenduduk padat puncak penderita adalah bulan Juni-Juli hal ini bertepatan dengan awal musim kemarau. Dari pengamatan di Surabaya antara tahun 1987-1991 menunjukkan bahwa distribusinya berubah-ubah dan puncaknya mengikuti pola perubahan kejadian musim hujan ke musim panas atau sebaliknya.
Demikian juga data yang ada pada instalasi rawat inap di bagian ilmu kesehatan anak RSUD Dr. Soetomo pada tahun 1997, polanya tidak banyak perbedaan. Dikemukakan bahwa banyaknya kasus DBD tersebut ada hubunganya dengan kepadatan nyamuk dewasa dan jentik nyamuk Aedes aegyti yang sering dijumpai ditempat penampungan air akibat curah hujan.
Walaupun DHF bisa mengenai semua kelompok umur, namun terbanyak pada anak dibawah umur 15 tahun. Di Indonesia, Suroso (1997) mengemukakan bahwa penderita demam berdarah dengue terbanyak umur 5-14 tahun.

5.         Manifestasi klinis demam berdarah dengue
Semua yang ada berikut ini harus ada pada DHF (WHO, 1999):
a.         Demam, atau riwayat demam akut, berlangsung 2-7 hari kadang bifasik.
b.         Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut:
1)      Tes tournikt positif
2)      Petekie, ekimosis atau purpura
3)      Perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau lokasi lain.
4)      Hematemesis dan melena
c.         Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang).
d.        Adanya rembesan plasma karena peningkatan permeabilitas vaskular, dimanifestasikan oleh sedikitnya hal berikut:
1)      Peningkatan hematokrit sama atau lebih besar dari 20% diatas rata-rata usia, jenis kelamin, dan populasi.
2)      Penurunan hematokrit setelah tindakan penggantian volume sama dengan atau lebih besar dari 20% data dasar.
3)      Tanda-tanda rembesan plasma seperti efusi pleural, asites, dan hipoproteinemia.

6.         Patofisiologi DHF
Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplement. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.
Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.
Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diatesis homoragik. Renjatan terjadi secara akut.
Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.

7.         Pathway DHF
Lampiran

8.         Temuan laboratorium pada DHF
Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah temuan tetap pada DHF (WHO, 1999). Penurunan pada jumlah trombosit sampai dibawah 100.000 per mm3 biasanya ditemukan antara hari ketiga dan kedelapan, sering sebelum atau bersamaan dengan perubahan hematokrit. Peningkatan kadar hematokrit, yang menunjukkan rembesan plasma, selalu terjadi, bahkan pada kasus non-syok, tetapi lebih menonjol pada kasus syok. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dianggap menjadi bukti definitif adanya peningkatan permeabilitas vaskular dan rembesan plasma. Harus diperhatikan bawha kadar hematokrit dapat dipengaruhi baik pada penggantian dini volume atau oleh perdarahan. Hubungan perjalanan waktu antara penurunan jumlah trombosit dan peningkatan cepat hematokrit tampak menjadi unik pada DHF; baik perubahan terjadi sebelum penurunan suhu dan sebelum awitan syok.
Pada DHF, jumlah sel darah putih mungkin bervariasi pada awitan penyakit, berkisar dari leukopenia sampai leukositosis ringan, tetapi penurunan jumlah sel darah putih total karena penurunan pada jumlah neutrofil secara nyata selalu terlihat mendekati akhir fase demam. Limfositosis relatif, dengan adanya limfositis atipikal, adalah temuan umum sebelum penurunan suhu atau syok. Albuminuria ringan transien kadang terjadi, dan darah samar sering ditemukan dalam feses. Pada kebanyakan kasus, asai koagulasi atau faktor fibrinolitik menunjukkan penurunan fibrinogen, protombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. Reduksi pada antiplasmin-α (inhibitor α-plasmin) telah ditemukan pada beberapa kasus. Pada kasus berat dengan disfungsi hepar nyata, reduksi terlihat pada kadar faktor protrombin yang adalah vitamin K dependen, seperti pada faktor V, VII, IX, dan X. Masa tromboplastin parsial dan masa protrombin memanjang pada kira-kira setengah dan sepertigapasien DHF, secara berurutan. Masa trombin memanjang pada kasus berat. Fungsi trombosit juga telah terganggu. Kadar komplemen serum, terutama C3, berkurang.
Temuan umum lain adalah hipoproteinemia (karena kehilangan albumin), hiponatremia, dan peningkatan kadar aminotransferase aspartat serum. Asidosis metabolik sering terjadi pada syok lama. Nitrogen urea darah meningkat pada tahap akhir syok. Pemeriksaan rontgen dada menunjukkan efusi pleural, kebanyakan pada sisi kanan, sebagai temuan tetap, dan efusi pleural luas dihubungkan dengan beratnya penyakit. Pada syok, efusi plerural bilateral adalah temuan umum.

9.         Komplikasi dan manifestasi takunum
Dengan makin umumnya infeksi dengue, peningkatan jumlah kasus DF atau penyakit seperti DHF telah dihubungkan dengan manifestasi takumum (WHO, 1999). Manifestasi ini termasuk fenomena sistem saraf pusat seperti kejang, spastisitas, perubahan kesadaran dan paresis transien. Bentuk kejang halus kadang terjadi selama fase demam pada bayi. Kejang ini mungkin hanya kejang demam sederhana, karena cairan serebrospinal ditemukan normal pada kasus ini. Intoksikasi air akibat dari pemberian cairan isotonik berlebihan untuk mengatasi pasien DHF/DSS dengan hiponatremia dapat menimbulkan ensefalopati. Pasien dengan ensefalopati sebagai komplikasi dari koagulasi intravaskular diseminata juga telah dilaporkan.
Pasien mati dengan manifestasi neurologis telah dilaporkan di India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Puerto Riko, dan Thailand. Sementara telah ada beberapa laporan tentang isolasi virus atau anti-dengue IgM dari cairan serebrospinal, sampai kini tidak ada bukti keterlibatan langsung virus dengue dalam kerusakan neural. Perdarahan intrakranial dapat terjadi, dan herniasi batang otak karena edema serebral pernah ditemukan. Pada umunya, pasien yang telah meninggal dengan tanda atau gelaja neurologis belum menjadi subjek untuk studi sutopsi. Baik studi makro dan mikroskopik adalah penting untuk menentukan sifat dan etiologi manifestasi neurologis yang menyertai penyakit DHF/seperti DSS fatal.
Perawatan sangat hati-hati harus dilakukan untuk mencegah komplikasi iatrogenik dalam pengobatan DHF/DSS, untuk mengenalinya dengan cepat bila terjadi dan untuk tidak keliru terhadap komplikasi iatrogenik yang dapat dicegah dan diatasi dengan temuan DHF/DSS normal. Komplikasi ini termasuk sepsis, pneumonia, infeksi luka, dan hidrasi berlebihan. Penggunaan jalur intravena terkontaminasi dapat mengakibatkan sepsis Gram-negatif yang disertai dengan demam, syok dan perdarahan berat; pneumonia dan infeksi lain dapat menyebabkan demam dan menyulitkan pemulihan. Hidrasi berlebihan dapat menyebabkan gagal jantung atau pernapasan, yang mungkin dianggap keliru dengan syok.
Gagal hepar telah dihubungkan dengan DHF/DSS, terutama selama epidemik di Indonesia pada tahun 1970-an dan epidemik di Thailand pada tahun 1987. Gagal hepar ini mungkin karena keberhasilan resusitasi pasien dengan gagal sirkulasi berat, atau karena dengan tropisme hepar tak lazim karena strain viral tertentu. Serotipe virus dengue 1, 2, dan 3 telah diisolasi dari pasien yang meninggal karena gagal hati, dengan infeksi dengue primer maupun sekunder. Hepatosit nekrosis ditemukan meluas pada beberapa kasus ini. Antigen dengue terdeteksi pada hepatosis, pada sel-sel Kupffer dan kadang pada sel inflamasi akut. Temuan histopatologis dibedakan dari temuan yang terlihat pada sindrom Reye. Apakah cedera hepar karena efek langsung infeksi dengue atau respons penjamu terhadap infeksi, masih diselidiki. Ensefalopati yang berhubungan dengan gagal hepar akut umum terjadi, dan gagal ginjal adalah kejadian akhir yang umum.
Manifestasi takumum lain yang dilaporkan mencakup gagal ginjal dan sindrom uraemik hemolitik, kadang pada pasien dengan kondisi dasar mis, defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan hemoglobinopati. Infeksi bersamaan seperti leptospirosis, hepatitis-B virus, demam tifoid, cacar dan melioidosis, telah dilaporkan dan dapat memperberat manifestasi takumum dari DHF/DSS.

10.     Pertahapan keparahan demam berdarah dengue
DHF diklasifikasikan menjadi empat tingkatan keparahan, dimana derajat III dan IV dianggap DSS (WHO, 1999). Adanya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II DHF dari DF. WHO (1999) mengklasifikasikan menjadi empat tingkatan yaitu :
Derajat I     : Demam disertai dengan gejala konstitusional non-spesifik; satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes tourniket positif dan/atau mudah memar.
Derajat II   : Perdarahan spontan selain manifestasi pasien pada Derajat I, biasanya pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.
Derajat III  : Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta penyempitan tekanan nadi atau hipotensi, dengan adanya kulit dingin dan lembab serta gelisah.
Derajat IV  : Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi.

Pentahapan keparahan penyakit pada waktu pemulangan telah menunjukkan manfaat secara klinis dan epidemilogis pada epidemik DHF pada anak-anak di Wilayah WHO Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, dan pengalaman di Kuba, Puerto Riko dan Venezuela menunjukkan bahwa pentahapan juga bermanfaat untuk kasus orang dewasa (WHO, 1999).

Comments

Popular posts from this blog

Dialog dengan Pasien Isolasi Sosial (Menarik Diri)

Contoh dialog sesuai Satuan Pelaksana pada pasien gangguan jiwa dengan isolasi diri atau menarik diri : Menarik  D iri   (Isolasi Sosial) Prolog Disebuah ruang arjuna terdapat terdapat pasien gangguan jiwa bernama Ny. S. Pasien masuk rumah sakit jiwa karena pasien asyik dengan pikirannya sendiri, tidak memiliki teman dekat, tidak adanya kontak mata, tampak sedih, efek tumpul serta melakukan tindakan berulang yang tidak bermakna sama sekali. Pasien juga merasa ditolak oleh keluarganya sendiri sehingga membuatnya kesepian. Diagnosa keperawatan untuk pasien yaitu isolasi sosial. SP 1 : Pasien membina hubungan saling percaya,membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan hubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain dan mengajarkan pasien berkenalan. Perawat           : “ Assallamualaikum wr,wb ” Pasien              : (pasien hanya diam) Perawat           : “ Saya H saya senang dipanggil ibu Her… Saya perawat diruang maw

Dialog dengan Pasien Gangguan Jiwa Susaide SP 1

STRATEGI PELAKSANAAN SUSAIDE SP 1 A.       Kondisi klien Data Subjektif: 1.       Mengungkapkan keinginan bunuh diri 2.       Mengungkapkan keinginan untuk mati 3.       Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan 4.       Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga 5.       Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat yang mematikan 6.       Mengungkapkan adanya konflik interpersonal 7.       Mengungkapkan telah terjadi korban perilaku kekerasan saat kecil Data Objektif: 1.       Impulsif 2.       Menunjukkan perilaku yang mencurigakan ( biasanya menjadi sangat patuh) 3.       Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan penyalahgunaan alkohol) 4.       Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal) 5.       Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan dalam karier) 6.       Status perkawinan yang tidak harmonis B.        Diagnosa keperawatan Risiko bunuh diri

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK) A.   LATAR BELAKANG Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007). Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah : sudah punya diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007). Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas orientasi realita , dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat, 2006). Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau kehidup