Skip to main content

MAKALAH AGAMA ILLA', LI'AN DAN DZIHAR

MAKALAH AGAMA
ILLA', LI'AN DAN  DZIHAR

BAB I
A.  LATAR BELAKANG
Ilaa’ dari segi bahasa bermakna menolak dengan sumpah. Adapun makna ilaa’ dari sudut pandang syara’ berarti menolak untuk mengumpuli istrinya dengan bersumpah. Dlam hal ini, sumpahnya boleh dilakukan dengan menggunakan nama Allah, berpuasa, bersedekah, haji, atau dengan cara bercerai.
Kata li’an berasal dari kata al-La’nu. Yaitu, ucapan seorang suami sebagai berikut, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku benar-benar melihat isteriku telah berzina.” Kalau ada bayi yang lahir dan ia yakini bahwa itu bukan anaknya, maka hendaklah ia nyatakan bahwa bayi itu bukan anaknya. Ucapan itu hendaklah diulangi empat kali, kemudian ditambah pada yang kelima dengan kalimat, ‘Laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini.”
Secara etimologis (bahasa) ,kata zhihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah , kata zhihar berarti suatu ungkapan suami kepada istrinya., “bagiku kamu seperti punggung ibuku,” dengan maksud dia mengharamkan istrinya bagi dirinya.

B.  TUJUAN
1.      Tujuan Umum
a.       Mahasiswa mampu menjelaskan ilaa’, zihar, dan li’an
2.      Tujuan Khusus
a.       Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian ilaa’
b.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan hukum ilaa’
c.       Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian zihar
d.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan hukum zihar
e.       Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian li’an
f.       Mahasiswa mampu mendeskripsikan hukum li’an








BAB II
ISI
A.  ILAA’
1.    Pengertian
Ilaa’ dari segi bahasa bermakna menolak dengan sumpah. Adapun makna ilaa’ dari sudut pandang syara’ berarti menolak untuk mengumpuli istrinya dengan bersumpah. Dlam hal ini, sumpahnya boleh dilakukan dengan menggunakan nama Allah, berpuasa, bersedekah, haji, atau dengan cara bercerai.
Pada zaman Jahiliah, seseorang suami biasa bersumpah untuk tidak menyentuh istrinya setahun, dua tahun, atau bahkan lebih lama dengan tujuan menyusahkan dirinya. Sang istri dibiarkan terkatung-katung seolah-olah tak bersuami, tetapi juga tidak diceraikan. Allah telah meletakkan batas tertentu bagi perbuatan yang menyusahkan ini dan dibatasi hingga empat bulan, dimana seorang suami boleh tidak mengumpuli istrinya. Dalam waktu tersebut, suami diharapkan mau menginsyafi dirinya jika ia mau kembali dalam tempo tersebut atau akhirnya mencabut sumpahnya lalu mencampuri istrinya dan membayar kafart sumpahnya. Jika tidak mau kembali, ia wajib menalak istrinya. Allah berfirman,
“Kepada orang-orang yang meng-illa’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika ia kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah [2]: 226)
“Dan jika mereka berazam (bertetap hati) untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 227)

2.    Masa Ilaa
Ulama fiqih berpendapat bahwa suami yang bersumpah untuk tidak mau berkumpul dengan istrinya lebih dari empat bulan, yang demikian dipandang sebagai muli. Mereka berbeda pendapat tentang suami yang bersumpah tidak mau mengumpuli istrinya yang berjalan selama empat bulan. Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa dia dikenai hukum ilaa’. Kebanyakan ulama, termasuk tiga imam mazhab, berpendapat bahwa dia tidak dikenai hukum ilaa’ karena Allah menetapkan tempo baginya selama empat bulan. Jika habis tempo tersebut, dia boleh kembali kepada istrinya atau bercerai saja.

3.    Hukum Ilaa’
Ilaa’ diperbolehkan untuk memberi pelajaran kepada istri jika dilakukan kurang dari empat bulan, karena Allah Ta’ala berfirman,
“Kepada orang-orang yang meng-illa’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika ia kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah [2]: 226)
Dan juga karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah meng ilaa’ istrinya selama sebulan penuh.
Ilaa’ haram dilakukan jika hanya bermaksud untuk menganiaya istri dan untuk memberi pelajaran kepadanya, karena Rasalullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak boleh ada madzarat dan tidak boleh menimpakan madzarat.”
(Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang baik).
Diantaranya hukum-hukum ilaa’ adalah sebagai berikut:
1.    Jika masa ilaa’ yaitu empat bulan telah habis dan suami tetap tidak menggauli istrinya, maka istrinya meminta suaminya kembali kepadanya, atau mentalaknya di depan hakim.
Dan karena Abdullah bin Umar ra. berkata, “Setelah masa empat bulan habis, maka suami disuruh berhenti dari ilaa’ hingga ia mentalak istrinya.”
2.    Jika suami yang meng-ilaa’ istrinya menghentikan ilaa’-nya dan tidak mentalaknya, maka hakim mentalaknya untuk menghindari terjadinya madzarat.
3.    Jika suami yang meng-ilaa’ istrinya itu mentalaknya setelah menghentikan ilaa’-nya, maka itu tergantung talaknya. Jika talaknya adalah talak satu maka talak tersebut adalah talak satu dan jika ia ingin berpisah dengannya maka istrinya dipisahkan darinya dan ia tidak berhak kembali kepadanya kecuali dengan akad baru.
4.    Istri yang ditalak dengan ilaa’ menjalani iddah talak dan iddahnya tidak cukup hanya dengan bersih dari haid, karena iddahnya tidak karena untuk mengosongkan rahimnya.
5.    Jika suami tidak melakukan hubungan suami-istri dengan istrinya dalam jangka waktu tertentu tanpa sumpah, ia harus dihentikan seperti suami yang melakukan ilaa’ terhadap istrinya. Ia harus menggauli istrinya, atau mentalaknya jika istrinya memintanya.
6.    Jika suami yang melakukan ilaa’ itu kembali kepada istrinya sebelum habis masa ia bersumpah tidak akan menggaulinya, ia harus membayar kafarat sumpahnya, karena Rasulullah SAW bersabda,
“Jika engkau bersumpah kemudian engkau melihat sesuatu yang lebih baik darinya, maka hendaklah engkau kerjakan sesuatu yang lebih baik tersebut dan bayarlah kafarat atas sumpahmu.”(Muttafaq Alaih)



4.    Talak karena Ilaa’
Talak yang jatuh karena ilaa’ merupakan talak ba’in, sebab kalau talaknya dipandang sebagai talak raj’i, berarti suami masih berhak memaksakan rujuk kepada istrinya karena itu adalah haknya. Kalau demikian, kemaslahatan istri tidak terjamin dan kemudharatan pada dirinya tidak dapat dihilangkan. Demikian pendapat Abu Hanifah.
Imam Malik, Syafi’i, Said bin Musayyah, Abu Bakar bin Abdurrahman berpendapat bahwa talak karena ilaa’ merupakan talak raj’i karena tidak ada dalil yang menerangkan sebagai talak ba’in. Juga karena merupakan talak kepada istri yang pernah dikumpuli tanpa ada ganti rugi dari suami atau istri mengembalikan mahar seluruhnya kepada suami.

B.  ZHIHAR
1.    Pengertian dan asal kata zhihar
Secara etimologis (bahasa) ,kata zhihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah , kata zhihar berarti suatu ungkapan suami kepada istrinya., “bagiku kamu seperti punggung ibuku,” dengan maksud dia mengharamkan istrinya bagi dirinya.
Zhihar ini merupakan talak yang berlaku dimasyarakat jahiliyah terdahulu. Kemudian diharamkan oleh islam. Allah sendiri memerintahkan kepada suami yang men-zhihar istrinya untuk membayar kafarat sehingga zhihar yang dilakukannya itu tidak sampai menjadi talak.
Menurut masyarakat jahiliyah, kata zhihar itu berarti talak. Lalu allah memberikan keringananan kepada umat ini dengan tidak mengangapnya  sebagai talak, tetapi dia mengharuskan pembayaran kafarat atasnya. Demikian yang dikemukakan oleh banyak ulama salaf.
Allah berfirman,
“Sesungguhnya allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan halnya kepada allah. Dan allah mendengar soal jawab antara kalian berdua. Sesungguhnya allah maha mendengar lagi maha melihat. “ (al-mujadilah : 1 )
Ayat tersebut  diatas turun berkenaan dengan persoalan seorang wanita yang bernama khaulah binti tsa’labah yang telah dizhihar oleh suaminya, aus bin shamit,yaitu dengan mengatakan kepadanya,”kamu bagi ku seperi punggung ibuku.”dengan maksud bahwa ia tidak boleh menggauli lagi istrinya, sebagai mana ia tidak boleh menggauli ibunya.
Dari aisyah ia bercerita, segala puji bagi allah yang pendengarannya meliputi seluruh suara seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada nabi, ia mengadukan kepada beliau, sedanga aku berada disudut rumah, dan aku tidak mendengar apapun yang dikatakannya. Maka allah azza wajjala menurunkan firman-Nya.
“Sesungguhnya allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan halnya kepada allah. Dan allah mendengar soal jawab antara kalian berdua. Sesungguhnya allah maha mendengar lagi maha melihat. “(al-mujadilah: 1).
Lebih lanjut. Aisyah menuturkan, “malam hari tidak muncul sehingga jibril turun dengan membawa ayat diatas ,”suami khaulah itu adalah aus bin shamit.” Dan allah berfirman,
“Orang-orang yang menzhihar istrinya diantara kalian, (menganggap istrinya sebagai ibunya) ,padahal wanita yang melahirkan mereka.dan sesungguhnya mereka sungguh-sumgguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya allah maha pemaaf lagi maha pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur,demikainlah yang diajarkan kepada kalian, dan allah maha mengetahuai apa yang kalian kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib puasa atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajaib atasnya) member enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kalian beriman kepada allah dan rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum allah, dan bagi orang-orang kafir  ada siksaan yang sangat pedih. “ (al-mujadilah : 2-4 ).

Kapankah pembayaran kafarat itu diwajibkan?
Para ulama salaf dan juga para iman telah berbeda pendapat mengenai maka firman allah , kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, “sebagian orang mengatakan, kata al-aud berarti ia kembali lafazh zhiahar tersebut, sehingga ia mengulanginya beberapa kali. Ia adalah salh satu pendapat ibnu hazm dan dawud.
Para ulama telah sepakat bahwa penyerupaan istri dengan punggung itu telah menjatuhkan talak.kemudian ia berbeda pendapat mengenai beberapa masalah.
1.      Jika seorang suami menyerupakan istrinya dengan salah satu dari anggota tubuh ibunya, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa demikan itu juga termasuk zhihar.
2.      Mereka juga berbeda pendapat jika istrinya diserupakan dengan wanita mahram selain ibu. Berkenaan dengan hal tersebut, al-hadawiyah mengatakan, “yang demikian itu tidak disebur zhihar, karena yang ditegaskan oleh nash adalah ibu saja.
3.      Selain itu, mereka berbeda pendapat mengenai apakah zhihar itu juga berlaku bagi orang kafir. Berkenaan dengan hal ini ada yang mengatakan, “ya, bisa. “hal itu didasarkan pada keumuman khitab dalam ayat diatas. Tetapi ada yang berpendapat lain, bahwa hal itu tidak berlaku,karena zhihar itu mengharuskan pembayaran kafarat.

C. LI’AN
1. Pengertian Li’an
Kata li’an berasal dari kata al-La’nu. Yaitu, ucapan seorang suami sebagai berikut, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku benar-benar melihat isteriku telah berzina.” Kalau ada bayi yang lahir dan ia yakini bahwa itu bukan anaknya, maka hendaklah ia nyatakan bahwa bayi itu bukan anaknya. Ucapan itu hendaklah diulangi empat kali, kemudian ditambah pada yang kelima dengan kalimat, ‘Laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini.”

2. Hukum Li’an
Jika seseorang menuduh orang lain berzina, sedangkan ia tidak memiliki saksi yang cukup, maka yang menuduh itu wajib dijatuhi hukuman 80 kali deraan. Tetapi kalau yang menuduh itu suaminya sendiri, maka ia boleh lepas dari hukuman tersebut dengan jalan li’an. Artinya, bahwa suami yang menuduh isterinya berzina itu boleh memilih antara dua perkara, yaitu didera sebanyak 80 kali deraan atau me-li’an isterinya.
Dari Ibnu Umar, ia bercerita, si Fulan bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana menurut pendapat Anda jika seseorang dari kami mendapati isterinya berbuat suatu perbuatan yang keji? Apa yang ia perbuat? Ika ia ceritakan, niscaya ia akan menceritakan perkara yang besar dan jika ia diam, niscaya ia diam dari (perkara besar) seperti itu.”
Namun beliau tidak memberikan jawaban kepadanya. Dan setelah itu ia dating lagi kepada beliau seraya berkata, “Sesungguhnya apa yang pernah kutanyakan kepadamu dulu telah diujikan kepadaku.” Kemudian Allah menurunkan beberapa ayat di dalam surat an-Nuur, lalu Rasulullah membacakan kepadanya seraya memberikan nasihat dan peringatan. Beliau juga mengingatkannya bahwa azab dunia itu lebih ringan daripada azab akhirat. Orang itu bersabda, “Tidak. Demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya aku tidak berbohong terhadap tuduhan itu.”
Kemudian beliau memanggil isterinya dan memberikan nasihat juga. Isterinya berkata, “Tidak, demi zat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya ia seorang pendusta.”
Setelah itu beliau mulai menanyai laki-laki itu, lalu orang itu memberikan kesaksian empat kali dengan menyebut nama Allah, dan kemudian diikuti oleh isterinya, lalu beliau memisahkan antara keduanya. (HR. Muslim).
Orang yang dikisahkan dalam hadist diatas adalah Uwaimir al-Ajlani, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak riwayat.
Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang menuduh isteri-isterinya berzina padahal mereka mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya ia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika termasuk orang-orang yang berdusta.” (an-Nuur: 6-7).
Di dalam hadist tersebut terdapat permasalahan, yaitu:
Sabda Rasulullah “Tetapi beliau tidak memberikan jawaban kepadanya.” Sedangkan menurut riwayat Abu Dawud, “Maka Nabi memikirkan dan mencela pertanyaan itu.” Al-Khathabi berkata, “Yang dimaksudkan adalah pertanyaan yang tidak dibutuhkan oleh penanya.” Sedangkan Syafi’I berkata, “Pertanyaan mengenal hal-hal yang belum pernah diturunkan melalui wahyu jelas tidak diperbolehkan. Yang demikian itu supaya tidak turun ayat yang akan menjadikan mereka merasa berat dan kesulitan. Sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.” (al-Maidah: 101).

Ada dua macam pertanyaan berkenaan dengan hal ini, yaitu:
Pertama, pertanyaan yang dimaksudkan untuk tabayyun (klarifikasi) dan untuk menambah pengetahuan yang memang dibutuhkan, yaitu berkaan dengan masalah agama. Pertanyaan seperti ini dibolehkan dan bahkan diperintahkan, sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43).
Juga firman-Nya,
“Maka jika kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelummu.” (Yunus: 94).
Demikian juga dengan firman-Nya,
“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia.’” (al-Baqarah: 189).
Adapaun bentuk pertanyaan yang sifatnya dibuat-buat, maka segala bentuknya dimakruhkan. Kalau toh pertanyaan semacam itu didiamkan maka yang demikian itu sebenarnya peringatan sekaligus kecaman terhadap penanyanya, dan kalau diberikan jawaban, maka yang demikian itu merupakan bentuk hukuman dan pemberatan. Contoh pertanyaan semacam ini adalah firman Allah,
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-Ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (al-Isra’: 85).
Kedua, dalam hadist diatas adalah, sabda beliau, “Lalu beliau memulai pada orang laki-laki (suami).” Dari hal itu menunjukan bahwa Rasulullah memulai terlebih dahulu pada pihak suami, karena ia adalah pihak yang mengadukan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh ayat al-Qur’an. Telah menjadi sebuah ijma’ bahwa mendahulukan pihak suami merupakan sunat, kemudian terjadi perbrdaan pendapat, apakah permulaan itu harus dari pihak laki-laki atau tidak?
Jumhur ulama berpendapat atas kewajiban didahulukan pihak suami. Yang demikian itu berdasarkan sabda Rasulullah,
“Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak, maka hukuman had berlaku terhadapmu.”
Ketiga, sabda beliau, “Kemudian beliau memisahkan antara keduanya,” menunjukan bahwa pemisahan antara keduanya tidak terjadi kecuali melalui pemisahan hakim dan bukan oleh li’an itu sendiri. Demikianlah pendapat orang-orang yang melandaskan kepada lafazh yang terdapat dalam hadist di atas. Dan dalam hadist shahih disebutkan, bahwa ada seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga kepada isterinya setelah li’an-nya selesai.
Sedangkan jumhur ulama menanyakan, pemisahan itu terjadi karena li’an. Dan para ulama masih berbeda pendapat, apakah pemisahan itu bias terjadi hanya dengan sempurnanya li’an suami, meskipun sang isteri belum menyatakan kalimat li’an-Nya.
Syafi’I mengatakan, “Bisa saja pemisahan itu terjadi.” Iman Ahmad mengemukakan, “Pemisahan itu tidak terjadi kecuali dengan kesempurnaan li’an darinya (si isteri).” Dan pendapat itu pula yang popular di kalangan para penganut madzhab maliki juga Zhahiriyah. Dalam hal itu mereka berhujjah dengan hadist yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim, yaitu sabda Rasulullah, “Demikian itulah pemisahan antara dua orang yang berli’an.”
Mereka mengatakan, “Sesungguhnya talak yang dijatuhkan kepada isterinya bukan atas perintah Rasulullah. Seandainya tidak ada pemisahan suami isteri kecuali melalui talak, niscaya ia bokleh menikah lagi dengannya setelah isterinya itu dinikahi oleh laki-laki lain.
Keempat, para ulama berbeda pendapat mengenai pemisahan akibat dua pihak yang ber-li’an, apakah yang demikian itu termasuk fasakh atau talak ba’in. Hadawiyah, Syafi’I, Ahnad dan yang lainnya berpendapat bahwa yang demikian termasuk fasakh. Hal itu didasarkan bahwa li’an itu mewajibkan pengharaman abadi. Jadi, ia itu termasuk fasakh, yang kedudukannya sama seperti pemisahan akibat penyusuan, di mana keduanya tidak dapat berkumpul untuk selamanya, juga karena, li’an bukan kalimat talak yang sharih dan bukan pula berupa kiasan.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa li’an itu merupakan takak ba’in. Yang demikian itu didasarkan pada alas an bahwa li’an itu tidak terjadi kecuali dari pihak isteri.
Kelima, orang yang melakukan li’an yang diceritakan dalam hadist di atas adalah Hilal bin Umayyah, ia di hadapan Nabi menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Sahma’.
Dari Ibnu Umar, Rasulullah pernah berkata kepada dua orang yang saling me-li’an, “Perhitungan kalian berdua terserah kepada Allah. Salah seorang dari kalian telah berdusta dan tidak ada jalan lagi bagimu untuk menikahinya.” Ia berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan hartaku?” Beliau berkata, “Jika kamu benar (dalam tuduhannya) terhadapnya, maka maharmu itu adalah untuk kehormatannya yang engkau telah dihalalkan mendatangi kemaluannya (bercampur). Dan jika engkau berdusta terhadapnya, maka maharmu itu menjadi lebih darimu.” (Muttafaqun Alaih).
Hadist di atas menerangkan perpisahan antara suami isteri akibat li’an. Disebutkan, jika salah satu dari keduanya berdusta dalam li’an tersebut, maka perhitungannya terserah kepada Allah, dan pihak suami tidak berhak memperoleh kembali mahar yang telah diberikan. Karena jika pihak suami benar dalam tuduhan tersebut, maka isterinya berhak mendapatkan hartanya. Demikian juga jika ia berdusta, maka isterinya juga berhak mendapatkan harta itu, sedangkan harta itu sendiri semakin jauh darinya.
Di dalam hadist yang sama juga terdapat dalil yang menunjukan bahwa li’an itu dibenarkan terhadap wanita yang tengah hamil dan tidak perlu diakhiri sampai ia melahirkan. Demikian itu yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama berdasarkan hadist tersebut. Dari al-Hadawiyah, Abu Yusuf dan Muhammad, juga dari Abu Hanifah dan Ahmad, bahwa tidak ada li’an jika hanya didasarkan pada dugaan hamil akibat hubungan dengan laki-laki lain (selain suaminya).
Abu hanifah mengatakan, “Penafian nasab bayi yang ada dalam kandungan tidak dibenarkan jika dilakukan bersamaan dengan li’an. Oleh karena itu, jika pihak suami me-li’an isterinya ketika ia sedang hamil, lalu ia melahirkan seorang bayi, maka ia harus mengakuinya dan tidak boleh menafikannya sama sekali. Karena li’an itu tidak terjadi kecuali antara suami dan isteri. Dan dengan li’an yang nerlangsung ketika isterinya hamil, maka telah terjadi talak ba’in.
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah pernah memerintahkan seseorang meletakkan tangannya di mulutnya pada kelima kalinya seraya berkata, “Bahwa hal itu merupakan suatu yang diwajibkan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’I dan rijal hadits ini tsiqat).
Dengan demikian dapat dikatakan, jika li’an itu dilakukan ketika isteri dalam keadaan hamil dan suaminya tidak mau mengakui anak yang ada dalam kandungan isterinya, maka anak itu bagi ibunya dan tidak dapat dinasabkan kepada suaminya.




























BAB III
A.  KESIMPULAN
1.      Ilaa’ dari segi bahasa bermakna menolak dengan sumpah. Adapun makna ilaa’ dari sudut pandang syara’ berarti menolak untuk mengumpuli istrinya dengan bersumpah. Dlam hal ini, sumpahnya boleh dilakukan dengan menggunakan nama Allah, berpuasa, bersedekah, haji, atau dengan cara bercerai.
2.      Diantara hukum ilaa’ yaitu:
a.       Jika masa ilaa’ yaitu empat bulan telah habis dan suami tetap tidak menggauli istrinya, maka istrinya meminta suaminya kembali kepadanya, atau mentalaknya di depan hakim. Dan karena Abdullah bin Umar ra. berkata, “Setelah masa empat bulan habis, maka suami disuruh berhenti dari ilaa’ hingga ia mentalak istrinya.”
3.      Secara etimologis (bahasa) ,kata zhihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah , kata zhihar berarti suatu ungkapan suami kepada istrinya., “bagiku kamu seperti punggung ibuku,” dengan maksud dia mengharamkan istrinya bagi dirinya.
4.      Zhihar ini merupakan talak yang berlaku dimasyarakat jahiliyah terdahulu. Kemudian diharamkan oleh islam. Allah sendiri memerintahkan kepada suami yang men-zhihar istrinya untuk membayar kafarat sehingga zhihar yang dilakukannya itu tidak sampai menjadi talak.
5.      Kata li’an berasal dari kata al-La’nu. Yaitu, ucapan seorang suami sebagai berikut, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku benar-benar melihat isteriku telah berzina.” Kalau ada bayi yang lahir dan ia yakini bahwa itu bukan anaknya, maka hendaklah ia nyatakan bahwa bayi itu bukan anaknya. Ucapan itu hendaklah diulangi empat kali, kemudian ditambah pada yang kelima dengan kalimat, ‘Laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini.”
6.      Jika seseorang menuduh orang lain berzina, sedangkan ia tidak memiliki saksi yang cukup, maka yang menuduh itu wajib dijatuhi hukuman 80 kali deraan. Tetapi kalau yang menuduh itu suaminya sendiri, maka ia boleh lepas dari hukuman tersebut dengan jalan li’an. Artinya, bahwa suami yang menuduh isterinya berzina itu boleh memilih antara dua perkara, yaitu didera sebanyak 80 kali deraan atau me-li’an isterinya.




DAFTAR PUSTAKA

Ayyub Hasan Syaikh. 2008. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar.







Comments

Popular posts from this blog

Dialog dengan Pasien Isolasi Sosial (Menarik Diri)

Contoh dialog sesuai Satuan Pelaksana pada pasien gangguan jiwa dengan isolasi diri atau menarik diri : Menarik  D iri   (Isolasi Sosial) Prolog Disebuah ruang arjuna terdapat terdapat pasien gangguan jiwa bernama Ny. S. Pasien masuk rumah sakit jiwa karena pasien asyik dengan pikirannya sendiri, tidak memiliki teman dekat, tidak adanya kontak mata, tampak sedih, efek tumpul serta melakukan tindakan berulang yang tidak bermakna sama sekali. Pasien juga merasa ditolak oleh keluarganya sendiri sehingga membuatnya kesepian. Diagnosa keperawatan untuk pasien yaitu isolasi sosial. SP 1 : Pasien membina hubungan saling percaya,membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan hubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain dan mengajarkan pasien berkenalan. Perawat           : “ Assallamualaikum wr,wb ” Pasien              : (pasien hanya diam) Perawat           : “ Saya H saya senang dipanggil ibu Her… Saya perawat diruang maw

Dialog dengan Pasien Gangguan Jiwa Susaide SP 1

STRATEGI PELAKSANAAN SUSAIDE SP 1 A.       Kondisi klien Data Subjektif: 1.       Mengungkapkan keinginan bunuh diri 2.       Mengungkapkan keinginan untuk mati 3.       Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan 4.       Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga 5.       Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat yang mematikan 6.       Mengungkapkan adanya konflik interpersonal 7.       Mengungkapkan telah terjadi korban perilaku kekerasan saat kecil Data Objektif: 1.       Impulsif 2.       Menunjukkan perilaku yang mencurigakan ( biasanya menjadi sangat patuh) 3.       Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan penyalahgunaan alkohol) 4.       Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal) 5.       Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan dalam karier) 6.       Status perkawinan yang tidak harmonis B.        Diagnosa keperawatan Risiko bunuh diri

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK) A.   LATAR BELAKANG Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007). Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah : sudah punya diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007). Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas orientasi realita , dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat, 2006). Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau kehidup