Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Penolakan Organ
BAB I
A. LATAR BELAKANG
Penolakan allograf terjadi dengan
spesifisitas dan memori dan kecepatan penolakannya bervariasi menurut jaringan
terlibat. Pada umumnya, tandur kulit ditolak lebih cepat dibanding jaringan
lain seperti ginjal dan jantung.
Reaksi penolakan pada umumnya
berlangsung sesuai respon CMI. Gejala timbul sesudah terjadi vaskularisasi;
mula-mula terjadi invasi tandur oleh sel limfosit dan monosit melalui pembuluh
darah. Penolakan hiperakut terjadi dalam beberapa menit sampai dengan beberapa
jam sesudah transplantasi, ditandai oleh lambatnya gerakan SDM dan timbulnya
mikrotrombi dalam glomerulus yang disebabkan oleh inkompatibilitas darah.
Penyakit Graff versus Host ialah
keadaan yang terjadi bila sel yang imunokompeten asal donor (pada transplantasi
sumsum tulang) ditransfusikan kepada resipien dengan supresi sistem imun atau
bila tarnsfusi darah segar diberikan kepada anak atu neonatus yang
imunokompromais dan menimbulkan reaksi selular (CMI) diberbagi tempat.
Menentukan bahwa calon penerima
tidak mempunyai antibodi ‘antigraf’ yang bersirkulasi sangat penting, terutama
dalam bidang transplantasi ginjal. Karena transplantasi organ padat umunya
menunjukkan antigen golongan darah maupun antigen histokompatibilitas, maka
antibodi demikian dapat dalam bentuk antibdodi yang timbul secara alamiah
terhadap antigen golongan darah (isoantibodi) atau antibodi yang diarahkan pada
penentu HLA permukaan sel (antibodi limfositotoksik).
Organ yang ditransplantasikan
antara kembar identik tak pernah mengalami penolakan. Sebaliknya suatu organ
yang ditransplantasi antara individu yang sama sekali tak berhubungan biasanya
mengalami penolakan parah, dan obat imunosupresif kuat diperlukan untuk
menghilangkan proses ini
B. TUJUAN
1. Tujuan
Umum
a. Mahasiswa
mampu menjelaskan Penolakan Transplantasi Organ
2. Tujuan
Khusus
a. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan spesifikasi dan memori Penolakan Transplantasi Organ
b. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan mekanisme Penolakan Transplantasi Organ
c. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan jenis penolakan Penolakan Transplantasi Organ
d. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan penyakit graff versus host dan host versus graff
Penolakan Transplantasi Organ
e. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan menghindari Penolakan Transplantasi Organ
f. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan meminimkan Penolakan Transplantasi Organ
g. Mahasiswa
mampu melakukan asuhan keperawatan pada Penolakan Transplantasi Organ
BAB II
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. SPESIFITAS
DAN MEMORI
Penolakan
allograf terjadi dengan spesifisitas dan memori dan kecepatan penolakannya
bervariasi menurut jaringan terlibat. Pada umumnya, tandur kulit ditolak lebih
cepat dibanding jaringan lain seperti ginjal dan jantung. Tandur dari donor
singeneik dengan cepat diterima resipien dan mendapat vaskularisasi dan
berfungsi normal. Tandur yang berasal dari donor alogeneik akan diterima untuk
sementara dan mendapat vaskularisasi, tetapi selanjutnya akan terjadi penolakan
yang lamanya tergantung dari derajat inkompatibilitas.
2. MEKANISME
Sistem imun yang berperan pada proses penolakan
adalah sistem imun yang juga berperan terhadap mikroba. Berikut mekanisme sitem
imun :
a) Peran
seluler
Reaksi penolakan pada umumnya berlangsung sesuai
respon CMI. Gejala timbul sesudah terjadi vaskularisasi; mula-mula terjadi
invasi tandur oleh sel limfosit dan monosit melalui pembuluh darah. Reaksi
inflamasi ini segera menimbulkan kerusakan pembuluh darah yang diikuti nekrosi
jaringan tandur.
Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel TH resipien yang
mengenal antigen MHC alogeneik dan memacu imunitas humoral (antibodi). Sel
CTL/Tc juga mengenal antigen MHC alogeneik dan membunuh sel sasaran melalui
imunitas selular. Namun sejumlah studi pada mencit menunjukkan bahwa bila tidak
ada sel CD4+, allograf
dapat diterima selamanya. Memang penolakan dapat diperantarai sel CD4 tanpa
adanya sel CD8, mungkin karena sel CD4 kadang potensial sitotoksik untuk
sasaran MHC-II. Namun pada hewan utuh, sekresi sitokin asal CD4 akan dikerahkan
dan mnegaktifkan CD8, sel B, sel NK dan makrofag dan peran dalam proses
penolakan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh limfokin
asal sel Th, akan menimbulkan kerusakan, serupa dengan yang terjadi pada reaksi
hipersensitivitas tipe IV dari Gell dan Coombs/ DTH. Selanjutnya IFN-ɣ yang
dilepas makrofsag meningkatkan ekspresi antigen pada sel tandur sasaran
sehingga juga meningkatkan sitotoksisitas CD8Peran antibodi.
b) Peran
antibodi
Sel alogenik dapat dihancurkan melalui
hipersensitivitas Tipe II yang melibatkan antibodi humoral.
3. JENIS
PENOLAKAN
a) Penolakan
hiperakut
Penolakan hiperakut terjadi dalam beberapa menit
sampai dengan beberapa jam sesudah transplantasi, ditandai oleh lambatnya
gerakan SDM dan timbulnya mikrotrombi dalam glomerulus yang disebabkan oleh
inkompatibilitas darah. Hal itu terjadi pada individu yang sduah mengandung
antibodi terhadapat tandur/antigen donor, akibat transplantasi atau transfusi
darah atau kehamilan sebelumnya.
Tidak seperti tandur lain, ginjal mengekspresikan
antigen ABO pada endotel pembuluh darahnya. Jadi bila donor mempunyai golongan
darah lain dari resipien, antibodi akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas
Tipe 2, mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edema dan perdarahan
interstisial dalam jaringan tandur sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh
jaringan. Sel sel alogeneik dapat dihancurkan oleh hipersensitivitas tipe II
yang melibatkan antibodi humoral.
Resipien menderitas demam, menunjukkan leukositosis
dan memproduksi sedikit urin dengan berbagai elemen selular seperti eritrosit
atau tidak sama sekali. Dewasa ini belum ada pengobatan terhadap penolakan
hiperakut, karena antibodi sudah ada dalam resipien.
b) Penolakan
akut
Penolakan akut terlihat pada resipien yang sebelumnya
tidak disensitasi terhadap tandur. Hal ini merupakan penolakan umum yang sering
dialami resipien yang menerima tandur yang mismatch atau allograf dan
pengobatan imunosupresif yang kurang. Penolakan biasanya terjadi sekitar 10
hari setelah transplantasi. Penolakan akut disertai pembesaran ginjal yang
disertai rasa sakit, penurunan fungsi dan aliran darah serta sel darah dan
protein dalam urin.
Pemeriksaan histologis menunjukkan infiltrasi limfosit
dan monosit yang diaktifkan. Reaksi akut terjadi melalui aktivasi dan
proliferasi sel T. Antibodi berperan, tetapi juga sel CTL/Tc, Tdth dan
monosit/makrofag. Bila resipien sebelumnya sudah disensitasi antigen donor,
reaksi dapat terjadi dalam 2-5 hari. Penolakan akut dapat dihambat melalui
imunosupresi misalnya serum antilimfosit, steroit dan lainnya.
1)
Penolakan akut dini
Penolakan terjadi dalam 10 hari atau lebih, ditandai
oleh infiltrasi padat selular dan ruptur kapiler peritubular. Nampaknyaa
terjadi melalui hippersensitivitas selular yang terutama melibatkan CD8+
yang menyerang sel tandur yang ekspresi MHCnya ditingkatkan oleh IFN. Antibodi
tidak berperan dalam proses penolakan di sini
2)
Penolakan akut lambat
Penolakan terjadi mulai hari ke 11 pada penderita yang
ditekan dengan prednison dan azathioprin. Mekanismenya mungkin terjadi melalui
hilangnya imunosupresi oleh respons imun atau ditimbulkan oleh ikatan Ig
(diduga spesifik untuk tandur) terhadap arteriol dan kapilar glomerulus dan
komplemen yang dapat dilihat dengan IFT. Endapan Ig di dinding vaskular
menginduksi agregasi trombosit dalam kapilar glomerulus yang menimbulkan gagal
ginjal akut. Kerusakan yang terjadi oleh antibodi melalui ADCC, perlu pula
dipertimbangankan.
c) Penolakan
tersembunyi dan lambat
Penolakan tersembunyi dan lambaat disertai endapan Ig
dan C3 subendotel di membran basal glomerulus, mungkin ditimbulkan oleh
kompleks imun atau pembentukan kompleks dengan antigen larut asal ginjal yang
dicangkokkan. Efek dan interaksi antara faktor selular dan humoral pada
penolakan tandur adalah cukup komples.
d) Penolakan
kronis
Penolakan kronis menimbulkan hilangnya fungsi organ
yang dicangkokkan secara perlahan dalam beberapa bulan-tahun sesduah organ
berfungsi normal. Hal itu disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap
antigen tandur atau oleh timbulnya intolerasni terhadap sel T. Kadang timbul
sesudah pemberian imunosupresan dihentikan. Infeksi yang ada akan mempermudah
timbulnya penolakan yang kronik.
Gejala gagal ginjal terjadi perlahan dan progesif.
Pemeriksaan histologik menunjukkan proliferasi sejumlah besar sel mononuklear
yang memacu terutama sel T. Mekanisme penolakan tidak jelas, tetapi sesudah
transplantasi, respons memori (dan primer) yang menimbulkan produksi antibodi
dan imunitas selular terhadap HLA yang memerlukan waktu lama dapat berperan.
Antigen transplantaski minor juga dapat memacu respons imun yang cukup berarti
dan menimbulkan penolakan. Oleh karena kerusakan sudah terjadi, pengobatan
dengan imunosupresi saat ini tidak banyak berguna.
4. PENYAKIT
GRAFF VERSUS HOST dan HOST VERSUS GRAFF
Penyakit Graff versus Host ialah keadaan yang terjadi
bila sel yang imunokompeten asal donor (pada transplantasi sumsum tulang)
ditransfusikan kepada resipien dengan supresi sistem imun atau bila tarnsfusi
darah segar diberikan kepada anak atu neonatus yang imunokompromais dan
menimbulkan reaksi selular (CMI) diberbagi tempat. Sel leukosit donor yang
terdapat dalam jaringan tandur dan dapat bermigrasi ke luar dari tandur dan
masuk ke dalam sistem limfoid resipien disebut sel passenger.
Tanda dari respons GvH adalah pembesaran kelenjar
getah bening, limpa, hati, diare, kemerahan di kulit, rambut rontok, berat badan
menurun dan akhirnya meninggal. Kematian diduga terjadi karena destruksi sel
pejamu dan jaringan akibat respons CMI yang berlebihan terhadap banyak sel
sasaran pada pejamu yang memiliki antigen MHC-I. Respons GvvH ini lebih mudah
terjadi bila sebelum transplantasi atau transfusi tidak diusahakan untuk
menyingkirkan semua sel T matang yang imunokompeten.
5. HINDARI
PENOLAKAN HIPERAKUT
Menentukan bahwa calon penerima tidak mempunyai
antibodi ‘antigraf’ yang bersirkulasi sangat penting, terutama dalam bidang
transplantasi ginjal. Karena transplantasi organ padat umunya menunjukkan
antigen golongan darah maupun antigen histokompatibilitas, maka antibodi
demikian dapat dalam bentuk antibdodi yang timbul secara alamiah terhadap
antigen golongan darah (isoantibodi) atau antibodi yang diarahkan pada penentu
HLA permukaan sel (antibodi limfositotoksik). Jadi dua tes yang dilakukan
sebelum transplantasi. Pertama penocokan silang ABO dilakukan, sehingga donor
dan penerima cocok bagi antigen golongan eritosit. Patokan transfusi darah yang
sama berlaku bagi donor organ; golongan darah dicocokkan jika mungkin, tetapi
donor golongan “O” suatu “donor universal” dan penerima golongan AB suatu
“penerima universal”. Bila ada kecocokan ABO, maka dilakukan “pencocokan silang
limfositotoksik” untuk mentes adanya antibodi ‘antigraft’ dalam serum penerima.
Seperti dikatakan sebelumnya, hal ini jauh lebih penting bagi transplantasi
ginjal daripada untuk transplantasi hati atau jantung.
Pencocokan silang limfositotoksik sesederhana pencocokan
silang ABO. Serum penerima diinkubasi dengan limfosit donor disertai adanya
komplemen kelinci selama 4 jam. Pembunuhan lebih dari 20 persen limfosit donor
selama inkubasi merupakan bukti bahwa ada antibodi ‘antigraft’. Analisis lebih
canggih kadang-kadang dilakukan bila sel B dan sel T darah tepi telah
dipisahkan sebelum tes pencocokan silang. Walaupun masalah ini agak
kontroversial, namun antibodi yang diarahkan pada sel B, tetapi tidak sel T,
umumnya tidak menyebabkan penolakan hiperakut dan sering dilakukan
transplantasi jika penerima hanya mempunyai antibodi anti-sel B terhadap donor.
Tak ada tempat melakukan transplantasi jika antibodi terhadap sel T donor
terdeteksi. Kadar antibodi turun naik dan contoh serum lama dari penerima
sering ditemukan mengandung antibodi antidonor, sedangkan bahan contoh paling
belakang diambil tidak mengandungnya. Dalam keadaan ini, biasanya tidak
dilakukan transplantasi karena ketakutan bahwa ada antibodi dalam kadar rendah,
tetapi karena sejumlah alasan tak dapat dideteksi, dan bahwa akan timbul
penolakan dipercepat anamnestik atau hiperakut.
6. MEMINIMKAN
PERBEDAAN ANTIGEN
Organ
yang ditransplantasikan antara kembar identik tak pernah mengalami penolakan.
Sebaliknya suatu organ yang ditransplantasi antara individu yang sama sekali
tak berhubungan biasanya mengalami penolakan parah, dan obat imunosupresif kuat
diperlukan untuk menghilangkan proses ini. Usaha untuk mencocokkan antigen
donor dan penerima sebanyak mungkin tampaknya akan logis untuk meminimumkan
intensitas proses penolakan. Prinsip umum ini jelas benar dalam kasus
transplantasi ginjal dan transplantasi sumsum tulang berhubungan keluarga serta
agak kurang jelas dalam kasus transplantasi ginjal kadaver serta bisa tidak
benar pada semua kasus transplantasi hati dan jantung.
B. ASUHAN
KEPERAWATAN PENOLAKAN TRANSPLANTASI ORGAN
PRE OPERASI
Diagnosa
keperawatan :
Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan dari transplantasi ginjal.
Kriteria
hasil :
|
1. Rasa
cemas berkurang
|
2. Pasien
dapat menyebutkan proses transplantasi ginjal
|
|
3. Wajah
rileks.
|
Intervensi :
- Gambarkan persiapan praoperasi pada pasien termasuk puasa, pemberian infuse, dialysis dan obat praoperasi
- Terangkan bahwa dialysis mungkin
perlu secara sementara setelah transplantasi ginjal
- Jelaskan prosedur pembedahan termasuk
dimana ginjal akan diletakkan dalam abdomen, dan bagaimana ginjal akan
berfungsi dan lamanya pembedahan
- Gambarkan adanya infus pasca operasi,
drain dan kateter
- Diskusikan nyeri insisi, pastikan
pasien bahwa akan ada metode untuk menurunkan nyeri termasuk obat dan
pembebatan insisi
- Latih cara batuk, nafas dalam, ganti
posisi tidur pasien
- Dorong keterlibatan dengan kelompok pasien yang telah menjalani transplantasi
- Gambarkan pernyataan sederhana, ulangi dan ungkapkan dengan kalimat lain jika perlu
- Beri kesempatan pasien untuk mengekspresikan kecemasannya tentang pembedahan, mengungkapkan berbagai ketidakpastian dan mengajukan pertanyaan
- Tawarkan kesempatan pada pasien untuk memperjelas dengan seseorang yang telah berhasil dan tidak berhasil dalam transplantasi ginjal.
POST OPERASI
1.
Diagnosa keperawatan :
Nyeri
(akut) berhubungan dengan adanya insisi luka operasi, spasme otot, atau adanya
distensi abdomen/kandung kemih.
Kriteria
hasil :
|
1. Pasien dapat toleransi terhadap rasa nyeri
|
2. Ungkapan rasa nyeri berkurang/hilang
|
|
3. Ekpresi wajah tenang.
|
Intervensi :
- Beri support kepada pasien untuk menggungkapkan raya nyerinya
- Atur posisi yang nyaman
- Anjurkan untuk istirahat baring di tempat tidur
- Pantau skala nyeri nyeri, tentukan lokasi, jenis factor yang meningkatkan rasa nyeri serta tanda dan gejala yang menunjang
- Ciptakan lingkungan yang tenang
- Ajarkan tehnik relaksasi (latih nafas dalam)
- Longgarkan atau kencangkan bebat daerah yang sakit
- Beri kesempatan untuk istirahat selama nyeri, buat jadwal aktifitas bila nyeri berkurang
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik, oksigen dan pemeriksaan penunjang
- Berikan obat pengurang rasa sakit dan observasi 30 menit kemudian.
2.
Diagnosa Keperawatan:
Perubahan
eliminasi urine
berhubungan dengan transplantasi
ginjal, penolakan, obat-obatan nefrotoksik, gagal ginjal.
Kriteria Hasil : Pasien akan
mempertahankan keluaran urine yang adekuat.
Intervensi :
- Periksa haluaran urine setiap 1 jam pada awalnya
- Catat warna urine adanya bekuan
- Amati dan pertahankan terhadap
patensi serta drainase urine pada setiap kateter
- Pertahankan banyaknya volume cairan
intravena untuk membilas ginjal sesuai program
- Beritahu dokter terhadap adanya
kebocoran urine pada balutan abdomen, nyeri abdomen hebat atau destensi
abdomen
- Bila pasien oligouri progresif,
teliti pemeriksaan fungsi ginjal, kaji status hidrasi dan beritahu dokter.
3.
Diagnosa
Keperawatan :
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan
penurunan haluaran urine, gagal ginjal, penolakkan tranplantasi, tingginya
volume cairan intravena.
Kriteria Hasil : Pasien mengeluarkan
urine yang adekuat dan tidak menahan cairan.
Intervensi :
- Monitor TD dan nadi setiap 1jam
- Ukur haluaran urine setiap 1jam
- Timbang BB setiap hari
- Auskultasi paru-paru setiap
pergantian dinas sesuai indikasi
- Pertahankan keakuratan catatan masuk
dan keluarnya cairan
- Beri banyak cairan sesuai program
- Beri obat diuritik sesuai program
- Pertahankan mesukan natrium sesuai
program
- Laporkan semua temuan abnormal.
4.
Diagnosa Keperawatan :
Resiko terhadap infeksi yang berhubungan
dengan imunosupresi
Kriteria
hasil :
|
ü
Pasien akan mengalami penyembuhan jaringan
normal
|
ü
Pasien tidak demam, insisi kering, urine
jernih/kuning tanpa sediment, paru-paru bersih.
|
Intervensi :
a.
Lakukan
cuci tangan dengan bersih sebelum, selama, dan setelah merawat pasien.
b. Gunakan
tehnik aseptik dengan saksama dalam merawat semua kateter, selang infus
sentral, pipa endoktrakheal, dan selang infuse perifer.
c. Periksa
suhu tubuh setiap 4 jam.
d. Pertahankan
lingkungan yang bersih.
e. Lepaskan
kateter secepat mungkin sesuai program.
f.
Ganti
segera balutan yang basah untuk membatasi media bagi organisme.
g.
Berikan
nutrisi yang adekuat.
h.
Pertahankan
integritas kulit.
i.
Larang pengunjung dan perawat dengan infeksi
saluran pernapasan aktif untuk kontak dengan pasien.
j.
Pantau nilai-nilai laboraturium, khususnya SDP
(sel darah putih) dan periksa spicemen dari drainase yang dicurigai untuk
dikultur dan sensitivitas.
k. Inspeksi
daerah insisi tiap hari terhadap semua tanda-tanda inflamasi; nyeri, kemerahan,
bengkak, panas, dan drainase.
l.
Auskultasi
paru terhadap bunyi nafas setiap 4 jam.
m.
Anjurkan
dan bantu ambulasi dini.
n. Perhatikan
karakter urine dan laporkan bila keruh dan bau busuk.
o.
Beritahu
dokter setiap adanya indikasi infeksi.
p.
Berikan
antimicrobical, sesuai program.
5.
Diagnosa
Keperawatan :
Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan
dengan resiko dari reaksi imun transplantasi dan efek samping dari obat-obatan
imunosupresi, atau kebutuhan hemodialisa lanjut.
Kriteria
hasil :
|
1. Pasien
akan mempertahankan fungsi ginjal.
|
2. Tidak ada tanda dan gejala reaksi imun
|
|
3. Immunosupresan sesuai toleransi tanpa
adanya efek samping
|
Intervensi :
a.
Pantau
dan laporkan tanda dan gejala reaksi imun(kemerahan, bengkak,nyeri tekan diatas
sisi transplantasi, peningkatan suhu, peningkatan sel darah putih, penurunan
haluaran urine, peningkatan proteinuria, peningkatan BB tiba-tiba, peningkatan
BUN dan kreatinin, edema).
b.
Periksa
tanda-tanda vital setiap 2-4 jam.
c. Monitor
masukan dan haluaran cairan setiap jam selanjutnya setiap 3 jam.
d. Kaji
akses dialysis
e. Pantau
dan laporkan efek samping dari obat-obatan immunosupresif
f. Siapkan
pasien untuk operasi mengangkat ginjal yang ditolak jika terjadireaksi
hiperakut
g. Berikan
dukungan kepada pasien dan keluarga.
6.
Diagnosa keperawatan :
Resiko tinggi terhadap penatalaksanaan di
rumah berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang perawatan diri, riwayat
ketidak patuhan.
Kriteria hasil : Menyatakan mengerti tentang instruksi pulang.
Intervensi :
a.
Kembangkan rencana penyuluhan bekerja sama
dengan koordinator transplantasi. Pastikan pasien dan anggota keluarga
mengetahui:
- Nama,
frekuensi, indikai, dosis, dan efek samping dari semua obat yang di berikan.
- Tanda
dan gejala infeksi untuk di laporkan.
- Tanda
dan gejala reaksi imun untuk di laporkan.
- Diet
– biasanya pembatasan natrium; atur untuk konsul tentang diet.
- Bagaimana
mengumpulkan specimen yang di perlukan, seperti pengumpulan urine 24 jam dan
urine bersih.
- Nilai
normal laboraturium untuk kreatinin dan BUN.
- Kaji
berat badan dan suhu tubuh setiap hari. Pastikan pasien mempunyai catatan berat
badan dan suhu tubuh setiap hari.
b.
Tinjau ulang jadwal untuk kunjungan lanjut ke
kantor atau klinik transplantasi. Pastikan
pasien mengetahui dimana dan seberapa sering darah perlu di periksa. Pastikan
semua instruksi perawatan mandiri dan perjanjian evaluasi di tulis.
c. Anjurkan
pasien untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan perawatan diri sejak di rumah
sakit (meminum obat sendiri, mengukur berat badan sendiri, mengukur suhu,
memonitor nilai-niali laboraturium).
d. Anjurkan
pasien untuk meningkatkan kegiatan ketika di rumah sakit. Jika di ijinkan,
mungkin pasien dapat melihat fasilitas lain seperti kafetaria dan toko
souvenir.
e. Ingatkan
pasien :
- Bahwa
agen imunosupresif harus di berikan untuk mempertahankan cangkokan ginjal.
- Memakai
gelang waspada-medik untuk identifikasi diri sebagai seorang dengan cangkok
ginjal dan pengguna agen imunosupresif.
- Menghindari
diri dari kegiatan olahraga kontak.
f. Rujuk
pasien pada bimbingan pekerjaan untuk bantuan rencana kerja bila pasien merasa
siap.
g. Libatkan
anggota keluarga dalam semua penyuluhan jika memungkinkan.
Tekankan kembali perlunya melaporkan lebih awal tanda-tanda.
BAB III
A. KESIMPULAN
1. Penolakan
allograf terjadi dengan spesifisitas dan memori dan kecepatan penolakannya
bervariasi menurut jaringan terlibat.
2. Berikut
mekanisme sitem imun: peran seluler dan peran antibodi.
3. Penolakan
dibagi menjadi 2 yaitu penolakan hiperakut, tersembunyi dan lambat, dan kronis.
4. Penyakit
Graff versus Host ialah keadaan yang terjadi bila sel yang imunokompeten asal
donor (pada transplantasi sumsum tulang) ditransfusikan kepada resipien dengan
supresi sistem imun atau bila tarnsfusi darah segar diberikan kepada anak atu
neonatus yang imunokompromais dan menimbulkan reaksi selular (CMI) diberbagi
tempat.
5. Transplantasi
organ padat umunya menunjukkan antigen golongan darah maupun antigen
histokompatibilitas, maka antibodi demikian dapat dalam bentuk antibdodi yang
timbul secara alamiah terhadap antigen golongan darah (isoantibodi) atau
antibodi yang diarahkan pada penentu HLA permukaan sel (antibodi
limfositotoksik).
6. Organ
yang ditransplantasikan antara kembar identik tak pernah mengalami penolakan.
Sebaliknya suatu organ yang ditransplantasi antara individu yang sama sekali tak
berhubungan biasanya mengalami penolakan parah, dan obat imunosupresif kuat
diperlukan untuk menghilangkan proses ini.
B. SARAN
1. Perawat
harus memberikan rasa nyaman pada pasien agar pasien tidak mengalami nyeri.
2. Perawat
harus membantu pasien dalam memenuhi aktifitas kebutuhan sehari-hari
3. Perawat
harus memotivasi pasien agar pasien cepat sembuh dan tidak terpuruk dengan
penyakitnya
4. Perawat
harus memjelaskan terkait dengan penyakit yang diderita oleh pasien pada
pasien/keluarga
DAFTAR PUSTAKA
Carpernito,
Linda juall, 1995. Nursing Care Plans and
Documentation : Nursing diagnosis and colaborative problems. Second Edition
J.B. Lippincott Company.
Engram,
Barbara. 1998. Rencana asuhan keperawatan
medical bedah. Edisi bahasa Indonesia. Volume satu.
Hudak,
Carolyn, 1996. Keperawatan Kritis :
Pendekatan Holistik. Edisi pertama. Jakarta ;
EGC.
Smeltzer,
Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan
medical bedah Brunner Suddarth Edisi delapan Volume dua. Jakarta . EGC.
Comments
Post a Comment