PROFESIONALISME DOKTER DAN PERAWAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pelayanan keperawatan didefinisikan sebagai
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat,
keluarga, kelompok khusus, individu, dan sebagainya, pada setiap tingkat,
sepanjang siklus kehidupan pasien. Mengikuti perkembangan
keperawatan dunia, para perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan
profesinya. Kalau tadinya hanya membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi
bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan
keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan.
Jika dulu hanya menjalankan perintah dokter, sekarang ingin diberi
wewenang memutuskan berdasarkan ilmu keperawatan dan bekerja sama dengan dokter
untuk menetapkan apa yang terbaik bagi pasien.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000),
kolaborasi adalah bekerja bersama khususnya dalam usaha penggambungkan
pemikiran. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989)
menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang
terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan
solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa
yang dapat dilakukan.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang
membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Bekerja bersama dalam kesetaraan adalah esensi
dasar dari kolaborasi yang kita gunakan untuk menggambarkan hubungan perawat
dan dokter. Tentunya ada konsekweksi di
balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat terwujud jika individu yang terlibat merasa dihargai serta terlibat secara fisik dan intelektual saat
memberikan bantuan kepada pasien.
B.
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mendeskripsikan
profesionalisme dokter dan perawat dalam bidang pengobatan.
2.
Tujuan Khusus
a.
Mendeskripsikan profesionalisme dalam pengobatan dokter.
b.
Mendeskripsikan profesionalisme dalam pengobatan perawat.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Profesionalisme dokter
The student-physician yang merupakan studi penting pertama tentang
profesionalisasi kedokteran. Banyak dari definisi profesi menekankan pada
pemutusan pengetahuan teoritis dan penelitian sebagai kelanjutannya untuk
menambah pengetahuan tersebut, yang tentu saja merupakan curu-ciri utama dari
profesi kedokteran.dari banyak studi yang telah dilakukan mengenai proses
pendidikan kedokteran, kami telah memilih empat tema pokok bagi pembahasan
dalam bab ini : pendaftaran ke sekolah kedokteran, kebudayaan mahasiswa,
“perhatian yang terlepas” dan hilangnya
idealisme, serta spesialisasi karier.
Pandangan –pandangan yang kontras
menggambarkan, bagaimana model mempengaruhi interprestasi. Bagi mereka yang
menganggap bahwa konsep sub kebudayaan sangat membantu untuk memeahami
masyarakat-masyarakat yang kompleks, seperti yang dilakukan oleh para ahli
antropologi, adalah logis untuk melihat para mahasiswa maupun guru besar mereka
sebagai anggota-anggora dari kebudayaan yang berbeda. Akhirnya, walaupun paea
mahasiswa sedang mempersiapkan karier kedokteran, “pengaruh-pengaruh yang
menentukan terhadap respektif mereka bukanlah perspektif kedokteran”. Mereka
tidak bertindak sebagai dokter muda
namun sebagai mahasiswa, seperti halnya para ahli antropologi yang memandang
kebudayaan pada dasarnya sebagai mekanisme yang adaptif yang memungkinkan
kelompok-kelompok manusia untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan, demikian
pula kebudayan mahasiswa dapat dipandang sebagai sarana untuk mengatasi, yang
mengajarkan, menuntun dan mengarahkan para mahasiswa kedokteran dari
kebingungan dan dari bahaya tak lulus dalam pendidikan kedokteran, dan juga
membantu mereka untuk membuat keputusan serta mengambil tindakan yang
memaksimalkan kemungkinan untuk berhasil dalam menyelesaikan pendidikan mereka.
Beberapa kritikus menyatakan bahwa perbedaan
dalam kedua interprestasi itu mencerminkan perbedaan yang sebenarnya diantara
kedua fakultas kedokteran itu. Becker dan para koleganya membantah pendapat
tersebut dan mengajukan argumen bahwa kansas merupakan fakultas kedokteran yang
khas, yang perbedaannya dengan cornell tidak penting mengenai pokok tersebut.
Sementara para ahli antropologi sulit untuk mempercayai bahwa perbedaaan ras, agama, ekonomi,
perbedan kota –desa dari new york dan kansas tidak akan tercermin dalam lingkungan
pendidikan fakultas kedokteran.
Betapapun keinginan untuk
mengkonseptualisasikan hubungan antara mahasiswa – dosen jelaslah bahwa dalam
semua fakultas kedokteran “kebudayaan” mahasiswa atau “masyarakat” mahasiswa timbul unbtuk memenuhi fungsi-fungsi
yang berfariasi dalam membantu para dokter yang bersemangat selama tahun-tahun
pendidikan mereka.
Dimulai dengan perjumpaan mereka yang pertama
kali dengan tubuh orang mati dalam kuliah-kuliah anatomi tingkat pertama, yang
kadang-kadang dengan sengaja ditundukkan secara brutal oleh dosen-dosen, par
mahasiswa telah mlai belajar mengenai apa yang disebut “perhatian yang lepas”
(fox 1959). Pandangan yang demikian itu sama-sama dirasakan secara meluas oleh
orang-orang di dalam maupun di luar profesi kedokteran. Namun, hampir sejak
semula pandangan itu dipertanyakan, dan bukti-bukti semakin bertambah yang
menunjukkan bahwa kini pandangan tersebut tidak berlaku benar-benar.
Para penulis menyimpulkan bahwa “sementara
para mahsiswa (dari sudut pandangan awam) dapat menunjukkan wajah yang sinis
selama empat tahun di fakultas kedokteran, mereka juga memperoleh
pikiran-pikiran khusus mengenai bagaimana caranya melaksanakan idealisme yang
mendasari masuknya mereka ke fakultas kedokteran, dan merencanakan untuk melaksanakan
idealismenya tersebut ketika mereka menjadi dokter yang
berpraktek.“Kenyataannya, banyak fakultas kedokteran telah dimanusiawikan oleh
para mahasiswa mereka yakni telah mulai menaawarkan kursus-kursus mengenai
ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku yang memenuhi tuntutan baru bagi suatu
pendapatan yang lebih relefan dan lebih mengikat terhadap masalah-masalah
pelayanan perawatan kesehatan”(Ibid,546)
Walaupun sebagian besar para mahasiswa masuk sekolah
kedokteran dengan keinginan untuk masuk bidang praktek umum tapi sebaian besar
di antara mereka memilih spesialisasi sebelum lulus. Ini merupakan reaksi
terhadap kesadaran bahwa tidak mungkin untuk mendapat seluruh pengetahuan
kedokteran yang ingin dikuasai, dan dianggap lebih baik bila mendalami satu bidang
khusus. Pendekatan “ciri-ciri pribadi” untuk memahami seleksi spesialisasi
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang politis dan menarik. Apabila
variabel-variabel dan korelasi yang diidentifikasikan terbukti konsisten secara
luas, maka kiranya melalui proses seleksi penerimaan di fakultas kedokteran
mugkin untuk memanipulasi persentasi para mahasiswa yang memasuki beberapa
bidang spesialisasi.
Berdasarkan penelitian kuesioner di Universitas Oklahoma,
ditemukan bahwa dokter-dokter umum dianggap mempunyai perhatian besar terhadap
masyarakat, sabar dan mempuyai kepribadian yang ramah. Sebaliknya, para ahli
bedah dinilai suka mendominasi dan angkuh, agresif dan penuh energi, serta
terutama menaruh perhatian kepada prestise dirinya sendiri. Melihat para psikiater
sebagai orang yang tertarik pada masalah-masalah intelektual dan hanya sedikit
yang melihatnya sebagai orang yang tidak stabil emosinya dan pemikir yang
kacau, dibandingkan dengan para mahasiswa yang tidak memilih psikiatri sebagai
spesialisasinya.
Dalam suatu studi belum lama ini, mahasiswa-mahasiswa
baru Fakultas Kedokteran Universitas Colorado diminta untuk membuat urutan
tentang lima spesialisai kedokteran – psikiatri ,pediatri, praktek umum,
penyakit dalam dan bedah – sehubungan dengan status, daya tarik sosial (dari
kepribadian praktisi-praktisi khusus) dan kesamaan dengan diri sendiri yang
diyakini. Hasilnya sesuai dengan penemuan-penemuan studi-studi lain.
Spesialisai bedah memperoleh status tertinggi diikuti oleh penyakit dalam,
pediatri, psikiatri dan praktek umum. Akhirnya sehubungan dengan pandangan
“persamaan dengan diri sendiri” pediatri menempati urutan pertama, diikuti oleh
praktek umum, penyakit dalam, psikiatri dan bedah. Dengan menggolongkan
kelompok-kelompok bahwa tiap kelompok-kelompok khusus melihat dirinya sendiri
dalam keadaan yang menggembirakan.
Perhatian
dan perkembangan antropologi kesehatan sebenarnya bukan hal baru tentang suatu
pernyataan bahwa ilmu sosial memberikan sumbangan ke ilmu kedokteran. Dimana
berdasarkan biomedical awalnya untuk melihat manusia dari sisi penyakit,
sedangkan sociomedicine untuk melihat manusia dari pasiennya sendiri. Perkembangan
antropologi kesehatan sehubungan dengan fenomena konsep sehat dan sakit dapat
dilihat dari faktor berikut: (1) biologis dan ekologis, disebut, sebagai kutub
biologi dengan mengamati pertumbuhan dan perkembangan manusia maupun penyakit
perkembangan penyakit dalam evolusi ekologis. Kajian ini didukung ilmu-ilmu
lain seperti genetika, anatomi, serologi, biokimia; (2) psikologis dan sosial
budaya, disebut sebagai kutub sosial mengamati perilaku sakit pada pasien,
mempelajari etnomedisin, petugas kesehatan dan profesionalisme, hubungan
perawat-dokter-pasien-petugas farmasi. Kajian ini didukung ilmu-ilmu seperti
psikologi, sosiologi, administrasi, politik, komunikasi, bahasa, kesehatan
masyarakat, pendidikan kesehatan
Ada beberapa ilmu yang
berhubungan dengan antropologi dan saling berkontribusi dalam memberikan
sumbangan untuk perkembangan ilmu lain, misalnya dalam bidang biologi,
antropologi kesehatan menggambarkan teknik dan penemuan ilmu-ilmu kedokteran
dan variasinya, termasuk mikrobiologi, biokimia, genetik, parasitologi,
patologi, nutrisi, dan epidemiologi. Hal ini memungkinkan untuk menghubungkan
antara perubahan biologi yang didapatkan dengan menggunakan teknik tersebut
terhadap faktor-faktor sosial dan budaya di masyarakat tertentu. Contoh:
penyakit keturunan albinism di suatu daerah di Nusa Tenggara Timur
ditransmisikan melalui gen resesif karena pernikahan di antara anggota
keluarga.
B.
Profesionalisme perawat
Menjadi seorang perawat merupakan
suatu pilihan hidup bahkan merupakan suatu cita-cita bagi sebagian orang.
Namun, adapula orang yang menjadi perawat karena suatu keterpaksaan atau
kebetulan, bahkan menjadikan profesi perawat sebagai alternatif terakhir dalam
menentukan pilihan hidupnya. Terlepas dari semua itu, perawat merupakan suatu
profesi yang mulia. Seorang perawat mengabdikan dirinya untuk menjaga dan
merawat klien tanpa membeda-bedakan mereka dari segi apapun. Setiap tindakan
dan intervensi yang tepat yang dilakukan oleh seorang perawat, akan sangat
berharga bagi nyawa orang lain. Seorang perawat juga mengemban fungsi dan peran
yang sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan secara holistik kepada
klien. Namun, sudahkah perawat di Indonesia melakukan tugas mulianya tersebut
dengan baik? Bagaimanakah citra perawat ideal di mata masyarakat?
Perkembangan dunia kesehatan yang
semakin pesat kian membuka pengetahuan masyarakat mengenai dunia kesehatan dan
keperawatan. Hal ini ditandai dengan banyaknya masyarakat yang mulai menyoroti
kinerja tenaga-tenaga kesehatan dan mengkritisi berbagai aspek yang terdapat
dalam pelayanan kesehatan. Pengetahuan masyarakat yang semakin meningkat,
berpengaruh terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan
kesehatan, termasuk pelayanan keperawatan. Oleh karena itu, citra seorang
perawat kian menjadi sorotan. Hal ini tentu saja merupakan tantangan bagi
profesi keperawatan dalam mengembangkan profesionalisme selama memberikan
pelayanan yang berkualitas agar citra perawat senantiasa baik di mata
masyarakat.
Menjadi seorang perawat ideal bukanlah
suatu hal yang mudah, apalagi untuk membangun citra perawat ideal di mata
masyarakat. Hal ini dikarenakan kebanyakan masyarakat telah didekatkan dengan
citra perawat yang identik dengan sombong, tidak ramah, genit, tidak pintar
seperti dokter dan sebagainya. Seperti itulah kira-kira citra perawat di mata
masyarakat yang banyak digambarkan di televisi melalui sinetron-sinetron tidak
mendidik. Untuk mengubah citra perawat seperti yang banyak digambarkan
masyarakat memang tidak mudah, tapi itu merupakan suatu keharusan bagi semua
perawat, terutama seorang perawat profesional. Seorang perawat profesional
seharusnya dapat menjadi sosok perawat ideal yang senantiasa menjadi role model
bagi perawat vokasional dalam memberikan asuhan keperawatan. Hal ini
dikarenakan perawat profesional memiliki pendidikan yang lebih tinggi sehingga
ia lebih matang dari segi konsep, teori, dan aplikasi. Namun, hal itu belum
menjadi jaminan bagi perawat untuk dapat menjadi perawat yang ideal karena
begitu banyak aspek yang harus dimiliki oleh seorang perawat ideal di mata
masyarakat.
Perawat yang ideal adalah perawat yang baik. Begitulah
kebanyakan orang menjawab ketika ditanya mengenai bagaimana sosok perawat ideal
di mata mereka. Mungkin kedengarannya sangat sederhana. Namun, di balik semua
itu, pernyataan tersebut memiliki makna yang besar. Masyarakat ternyata sangat
mengharapkan perawat dapat bersikap baik dalam arti lembut, sabar, penyayang,
ramah, sopan dan santun saat memberikan asuhan keperawatan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
memang masih menemukan perilaku kurang baik yang dilakukan oleh seorang perawat
terhadap klien saat menjalankan tugasnya di rumah sakit. Hal itu memang sangat
disayangkan karena bisa membuat citra perawat menjadi tidak baik di mata
masyarakat. Ternyata memang hal-hal seperti itulah yang memunculkan jawaban
demikian dari masyarakat.
Untuk menjadi perawat ideal di mata
masyarakat, diperlukan kompetensi yang baik dalam hal menjalankan peran dan
fungsi sebagai perawat. Seorang perawat profesional haruslah mampu menjalankan
peran dan fungsinya dengan baik. Adapun peran perawat diantaranya ialah pemberi
perawatan, pemberi keputusan klinis, pelindung dan advokat klien, manajer
kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator, penyuluh, dan peran
karier. Semua peran tersebut sangatlah berpengaruh dalam membangun citra
perawat di masyarakat. Namun, disini saya akan menekankan peran yang menurut
saya paling penting dalam membangun citra perawat ideal di mata masyarakat.
Peran–peran tersebut diantaranya ialah peran sebagai pemberi perawatan, peran
sebagai pemberi kenyaman dan peran sebagai komunikator.
Peran sebagai pemberi asuhan
keperawatan merupakan peran yang paling utama bagi seorang perawat. Perawat
profesional yang dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik dan terampil
akan membangun citra keperawatan menjadi lebih baik di mata masyarakat. Saat
ini, perawat vokasional memang masih mendominasi praktik keperawatan di rumah
sakit maupun di tempat pelayanan kesehatan lainnya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa perawat vokasional memiliki kemampuan aplikasi yang baik dalam melakukan
praktik keperawatan. Namun, perawat vokasional memiliki pengetahuan teoritis
yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan perawat profesional. Dengan
semakin banyaknya jumlah perawat profesional saat ini, diharapkan dapat
melengkapi kompetensi yang dimiliki oleh perawat vokasional. Seorang perawat profesional
harus memahami landasan teoritis dalam melakukan praktik keperawatan. Landasan
teoritis tersebut akan sangat berguna bagi perawat profesional saat menjelaskan
maksud dan tujuan dari asuhan keperawatan yang diberikan secara rasional kepada
klien. Hal ini tentu saja akan membawa dampak baik bagi terciptanya citra
perawat ideal di mata masyarakat yaitu perawat yang cerdas, terampil dan
profesional.
Kenyamanan merupakan suatu perasaan
subjektif dalam diri manusia. Masyarakat yang menjadi klien dalam asuhan
keperawatan akan memiliki kebutuhan yang relatif terhadap rasa nyaman. Mereka
mengharapkan perawat dapat memenuhi kebutuhan rasa nyaman mereka. Oleh karena
itu, peran perawat sebagai pemberi kenyamanan, merupakan suatu peran yang cukup
penting bagi terciptanya suatu citra keperawatan yang baik. Seorang perawat
profesional diharapkan mampu menciptakan kenyamanan bagi klien saat klien
menjalani perawatan. Perawat profesional juga seharusnya mampu mengidentifikasi
kebutuhan yang berbeda-beda dalam diri klien akan rasa nyaman. Kenyamanan yang
tercipta akan membantu klien dalam proses penyembuhan, sehingga proses
penyembuhan akan lebih cepat. Pemberian rasa nyaman yang diberikan perawat
kepada klien dapat berupa sikap atau perilaku yang ditunjukkan dengan sikap
peduli, sikap ramah, sikap sopan, dan sikap empati yang ditunjukkan perawat
kepada klien pada saat memberikan asuhan keperawatan. Memanggil klien dengan
namanya merupakan salah satu bentuk interaksi yang dapat menciptakan kenyamanan
bagi klien dalam menjalani perawatan. Klien akan merasa nyaman dan tidak merasa
asing di rumah sakit. Perilaku itu juga dapat menciptakan citra perawat yang
ideal di mata klien itu sendiri karena klien mendapatkan rasa nyaman seperti
apa yang diharapkannya.
Peran perawat sebagai komunikator juga
sangat berpengaruh terhadap citra perawat di mata masyarakat. Masyarakat sangat
mengharapkan perawat dapat menjadi komunikator yang baik. Klien juga manusia
yang membutuhkan interaksi pada saat ia menjalani asuhan keperawatan. Interaksi
verbal yang dilakukan dengan perawat sedikit banyak akan berpengaruh terhadap
peningkatan kesehatan klien. Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan
keluarga, antar-sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya, serta sumber
informasi dan komunitas. Kualitas komunikasi yang dimiliki oleh seorang perawat
merupakan faktor yang menentukan dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga,
dan komunitas. Sudah seharusnya seorang perawat profesional memiliki kualitas
komunikasi yang baik saat berhadapan dengan klien, keluarga maupun dengan siapa
saja yang membutuhkan informasi mengenai masalah keperawatan terkait kesehatan
klien.
Hal-hal di atas merupakan sebagian
kecil gambaran mengenai peran yang dapat dilakukan oleh seorang perawat
profesional dalam membangun citra perawat ideal di mata masyarakat. Masih
banyak lagi hal lain yang dapat dilakukan oleh seorang perawat profesional
untuk menciptakan citra perawat ideal yang lebih baik lagi di mata masyarakat.
Untuk mewujudkan hal itu, tentu saja diperlukan kompetensi yang memadai,
kemauan yang besar, dan keseriusan dari dalam diri perawat sendiri untuk
membangun citra keperawatan menjadi lebih baik. Perawat yang terampil, cerdas,
baik, komunikatif, dan dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik sesuai
dengan kode etik, tampaknya memang merupakan sosok perawat ideal di mata
masyarakat. Semoga kita dapat menjadi perawat profesional yang mampu menjadi
role model bagi perawat-perawat lain dalam membawa citra perawat ideal di mata
masyarakat.
C.
Tanggung Jawab dan Tanggung
Gugat Perawat
Tanggung jawab adalah eksekusi terhadap tugas-tugas
yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat. Pada saat memberikan obat
perawat bertanggung jawab untuk mengkaji kebutuhan pasien akan obat tersebut,
memberikannya dengan aman dan benar dan mengevaluasi respon pasien terhadap
obat tersebut. Perawat yang selalu bertanggung jawab dalam bertindak akan
mendapatkan kepercayaan dari pasien karena melaksanakan tugas berdasarkan
kodeetiknya.
1
Tanggung jawab perawat secara umum
a. Menghargai martabat setiap pasien dan keluarganya.
b. Menghargai hak pasien untuk menolak pengobatan, prosedur atau
obat-obatan tertentu dan melaporkan penolakan tersebut kepada dokter dan
orang-orang yang tepat ditempat tersebut.
c.
Menghargai setiap hak pasien
dan keluarganya dalam hal kerahasiaan informasi.
d.
Apabila didelegasikan oleh
dokter menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien dan memberi informasi yang
biasanya diberikan oleh dokter.
e. Mendengarkan pasien secara seksama dan melaporkan hal-hal
penting kepada orang yang tepat.
Tanggung gugat (akuntabilitas) ialah
mempertanggungjawabkan prilaku dan hasil-hasilnya yang termasuk dalam lingkup
peran profesional seseorang sebagaimana tercermin dalam laporan periodik secara
tertulis tentang perilaku tersebut dan hasil-hasilnya. Perawat bertanggunggugat
terhadap dirinya sendiri, pasien, profesi, sesama karyawan dan mayarakat.
Jika seorang perawat memberikan dosis obat yang salah kepada pasien, maka ia dapat digugat oleh pasien yang menerima obat tersebut, dokter yang memberikan instruksi, pembuat standar kerja dan masyarakat.Agar dapat bertanggung gugat perawat harus bertindak berdasarkan kode etik profesinya. Akuntabilitas dilakukan untuk mengevalusi efektititas perawat dalam melakukan praktek.
Jika seorang perawat memberikan dosis obat yang salah kepada pasien, maka ia dapat digugat oleh pasien yang menerima obat tersebut, dokter yang memberikan instruksi, pembuat standar kerja dan masyarakat.Agar dapat bertanggung gugat perawat harus bertindak berdasarkan kode etik profesinya. Akuntabilitas dilakukan untuk mengevalusi efektititas perawat dalam melakukan praktek.
Akuntabilitas bertujuan :
a. Mengevaluasi praktisi-praktisi profesional baru dan mengkaji
ulang praktisi-prakstisi yang sudah ada.
b.
Mempertahankan standar
perawatan kesehatan.
c. Memberikan fasilitas refleksi profesional, pemikiran etis dan
pertumbuhan pribadi sebagai bagian dari profeional perawatan kesehatan.
d. Memberi dasar untuk membuat keputusan etis.
2
Tanggung gugat pada setiap tahap proses kepewatan
a.
Tahap Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang mempunyai tujuan mengumpulkan data.Perawat bertanggunggugat untuk pengumpulan data/informasi, mendorong partisipasi pasien dan penentuan keabsahan data yang dikumpulkan. Pada saat mengkaji perawat bertanggung gugat untuk kesenjangan-kesenjangan dalam data atau data yang bertentangan, data yang tidak/kurang tepat atau data yang meragukan.
b. Tahap diagnosa keperawatan
Diagnosa merupakan keputusan profesional perawat menganalisa data dan merumuskan respon pasien terhadap masalah kesehatan baik aktual atau potensial. Perawat bertanggunggugat untuk keputusan yang dibuat tentang masalah-masalah kesehatan pasien seperti pernyataan diagnostik.
Masalah kesehatan yang timbul pada pasien apakah diakui oleh pasien atau hanya perawat. Apakah perawat mempertimbangkan nilai-nilai, keyakinan dan kebiasan/kebudayaan pasien pada waktu menentukan masalah-masalah kesehatan. Pada waktu membuat keputusan para perawat bertanggung gugat untuk mempertimbangkan latar belakang sosial budaya pasien.
c. Tahap perencanaan
Perencanaan merupakan pedoman perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan, terdiri dari prioritas masalah, tujuan serta rencana kegiatan keperawatan. Tanggung gugat yang tercakup pada tahap perencanaan meliputi : penentuan prioritas, penetapan tujuan dan perencanaan kegiatan-kegiatan keperawatn. Langkah ini semua disatukan kedalam rencana keperawatan tertulis yang tersedia bagi semua perawat yang terlibat dalam asuhan keperawatan pasien. Pada tahap ini perawat juga bertanggunggugat untuk menjamin bahwa prioritas pasien juga dipertibangkan dalam menetapkanprioritasasuhan.
d. Tahap implementasi
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana asuhan keperawatan dalam bentuk tindakan-tindakan keperawatan.
Perawat bertanggung gugat untuk semua tindakan yang dilakukannya dalam memberikan asuhan keperawatan. Tindakan-tindakan tersebut dapat dilakukan secara langsung atau dengan bekerjasama dengan orang lain atau dapat pula didelegasikan kepada orang lain. Meskipun perawat mendelegasikan suatu kegiatan kepada orang lain, perawat tersebut harus masih tetap bertanggung gugat untuk tindakan yang didelegasikan dan tindakan pendelegasiannya itu sendiri. Perawat harus dapat memberi jawaban nalar tentang mengapa kegiatan tersebut didelegasikan, mengapa orang itu yang dipilih untuk melakukan kegiatan tersebut dan bagaimana tindakan yang didelegasikan itu dilaksanakan. Kegiatan keperawatan harus dicatat setelah dilaksanakan, oleh sebab itu dibuat catatan tertulis.
e.Tahap evaluasi
Evaluasi merupakan tahap penilaian terhadap hasil tindakan keperawatan yang telah diberikan, termasuk juga menilai semua tahap proses keperawatan. Perawat bertanggung gugat untuk keberhasilan atau kegagalan tindakan keperawatan. Perawat harus dapat menjelaskan mengapa tujuan pasien tidak tercapai dan tahap mana dari proses keperawatan yang perlu dirubah dan mengapa
D. Pendapat Tentang Profesionalisme Dokter dan Perawat
Menurut Merton et al. 1957:43 Terutama pada awal bagian dari penelitian sekarang
dan sejauh tahapannya, para pengamat lapangan telah melakukan apa yang setara
dengan studi antropologi sosial
mengenai fakultas kedokteran dan mengenai sektor-sektor yang berhubungan dengan
rumah sakit pendidikan. Para pengamat lapangan telah mengamati tingkah laku
mahasiswa, dosen, pasien dan staf pembantu dalam lingkungan sosial yang
alamiah. Mereka telah membuat pengamatan di ruang-ruang kuliah dan
laboratorium,melalui undangan mereka mengikuti para dokter dan mahasiswa dalam
pemeriksaan-pemeriksaan pasien untuk mencatat interaksi sosial yang terjadi di
sana, mereka telah menghabiskan waktunya untuk mengobservasi jenis-jenis
hubungan yang telah berkembang antara mahasiswa dengan pasien dan antara
mahasiswa dengan dosen. Waktu-waktu pengamatan yang demikian lama yang telah
dicatat dalam ribuan halaman dari catatan-catatan lapangan yang menghasilkan
keterangan mendetail mengenai pola yang berulang dari pengalaman mahasiswa.
Becker dan kolega-koleganya mendeskripsikan
penelitian yang murni etnografis: “Kami tidak memiliki perangkat hipotesis yang
siap untuk diuji, tidak ada instrumen untuk pengumpulan data yang khusus
didesain untuk memastikan informasi yang relevan bagi hipotesis-hipotesis
tersebut, tidak ada perangkat prosedur analitik yang diperinci sebelumnya”.
Menurut Ibid “Kami mengkonsentrasikan
daripada apa yang telah dipelajari mahasiswa dan bagaimana mereka
mempelajarinya.Kedua asumsi tersebut mengikat kami untuk bekerta terikat dengan
skema teoritis yang terbuka dimana variabel-variabelnya akan ditemukan, dan
bukan dengan skema dimana variabel-variabelnya yang sudah ditentukan lebih dulu
akan dicari dan akibatnya diisolir diukur”.
Menurut Fox “Inilah ideologi pemikiran yang
kritis, aktif ataupun pandangan hidup yang dibawa oleh mahasiswa kedokteran
baru ke fakultas kedokteran. Seberapa besar pengaruhnya, apakah akan
dijalankan, dan apakah dalam interaksinya dengan lingkungan fakultas kedokteran
dan iklim sosial tahun 1970-an pandangan itu akan menghasilkan suatu tipe
dokter baru, semuanya hanya akan terungkap melalui waktu, proses
profesionalisasi dan mungkin juga dari studi mengenai hal itu”.
Menurut Ns. Shanti
Wardaningsih, M.Kep,Sp.Jiwa bahwa perawat merupakan pembantu dokter.Selama ini
perawat belum banyak dihargai dan dianggap belum kompeten oleh sebagian
masyarakat. Stigma masyarakat tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada
masyarakat. Hal ini seharusnya justru menjadi tantangan bagi para perawat untuk
menunjukkan profesionalitasnya dalam menjalankan tugasnya kepada pasien dan
menjadikan perawat sebagai mitra dokter.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Profesionalisme dalam pengobatan : Dokter
Konsep
profesi mencakup isi, klien, organisasi dan pengawasan. Suatu profesi
berlandaskan atau disusun berdasarkan suatu kumpulan tentang pengetahuan yang
terspesialisasi (isi) yang tidak mudah diperoleh dan dalam tangan praktekfusi
yang ahli ,memenuhi kebutuhan atau melayani para klien. Menurut Everett Hughes,
suatu profesi memiliki suatu lisensi dan suatu mandat untuk dapat melaksanakan
pekerjaannya, disahkan oleh hukum dan sbagian lagi disah kan oleh kesepakatan
in formal dari masyarakat, atau
persetujuan bahwa tuntutan terhadap status profesional itu memang benar-benar
sah.
Profesinalisme dalam pengobatan : perawat
Tema-tema
perawatan yang telah menarik perhatian ilmu perilaku, pada tingkatan tertentu
sejajar dengan tema-tema kedokteran, yaitu proses-proses penerimaan calon,
latar belakang siswa, pendidikan dan pengalaman pendidikan, pola-pola karier
dan peranan serta spesialisasi profesional. Dipandang dari perspektif sejarah,
frekuensu frustai yang dialami oleh perawat, yang disebabkan oleh citra mereka
atas apa yang seharusnya mereka lakukan dan kenyataan apa yang mereka lakukan
(administrasi), hubungan yang kaku antara perawat dan dokter, dan posisi yang
tak jelas dari suatu profesi, dimana banyak dari anggotanya kekurangan atribut
pokok yang biasanya diasosiasikan dengan status profesional.
B.
Saran
1
Seharusnya perawat harus profesional dengan tugasnya bukan bangga dengan pofesi orang lain seperti
profesi dokter.
2
Perawat harus mempunyai standart yang harus kuat dan pasti agar perawat menjadi
perawat yang profesional.
3
Dokter harus lebih bisa memilih urusan pribadinya agar tidak mengganggu
tugasnya sebagi dokter dan harus lebih mementingkan pasien.
4
Dokter tidak boleh materialistis harus sesuai dengan aturan biaya yang
telah ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Baligens.2011.BahanTugasAntropologi. http://baligens.blogspot.com/2011/04/bahan-tugas-antropologi.html. Diakses Senin, 17 Oktober 2011
Dr.Barry
Bub.2008.Dokter dan Profesionalisme Kerja.
http://sutarmanisme.wordpress.com/2008/05/06/dokter-dan-profesionalisme-kerja/. Diakses Senin ,17 Oktober 2011
Hamra Yulizar, Sudiryo
Suwarno, Wahidno, Ekawati Prasetya. 2008. Profesionalisme Perawat dalam
Pengobatan. E-Learning
Keperawatan.htm. Diakses Senin, 17 Oktober 2011.
Priyanti pakan Suryadarma.1986..Antropologi Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Putra.2009.ProfesionalismeDokter.http://putragoz.blogspot.com/2009/04/profesionalisme-dokter.html . Diakses Senin, 17 Oktober 2011.
Sujana Setiani Rani. 2008.
Peran Perawat Profesional dalam Membangun Citra Perawat.http://mhs.blog.ui.ac.id/rani.setiani/2009/05/04/peran-perawat-profesional-dalam-membangun-citra-perawat-ideal-di-mata-masyarakat/ . Diakses 28 September 2011.
Comments
Post a Comment