Skip to main content

PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERNIKAHAN

PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERNIKAHAN



BAB I
PENDAHULUAN

            Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
            Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
            Dari Anas bin Malik RA, bahwasanya Nabi SAW memuji Allah SWT dan menyanjungNya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
            Sunnah ini merupakan cara yang digunakan oleh Allah SWT, agar segenap makhluk-Nya berkembangbiak dan memperbanyak keturunan, serta melanjutkan estafet kehidupan, setelah mempersiapkan dan membekali setiap pasangan agar masing – masing memainkan peran positif mencapai tujuan tersebut. Allah SWT berfirman:
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (dirinya), dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan kekeuargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”. (QS. An Nisaa’: 1)
Suratan takdir Allah SWT tidak menghendaki manusia memiliki kesamaan dengan makhluk – makhluk lainnya, sehingga meuran. Membiarkan nalurinya berkembang tanpa kendali dan membiarkan hubungan antara pria dan wanita berjalan liar tanpa peraturan. Melainkan sebaliknya, Allah SWT menetapkan system peraturan yang ideal agar dapat mengendalikannya. Alhasil, dengan cara itu manusia dapat menjaga kehormatan dan melindungi kemuliannya.
Allah SWT menetapkan hubungan yang terjalin antara pria dan wanita harus menjunjung kemuliaan yang berdasarkan keridhaan wanita dan melalui proses ijab dan qabul yang merupakan implementasi dari keridhaannya tersebut. Begitu juga penyaksian atas kedua mempelai  yang saling memiliki.
Dengan cara ini Allah SWT menyalurkan naluri manusia pada jalan yang aman, menghindarkan keturunan dari keterlambatan, dan melindungi wanita dari kemungkinan menjadi ibarat rumput yang diperebutkan oleh setiap gembala, serta menempatkan benih keluarga di bawah penjagaan naluri seorang ibu dan asuhan belas kasih seorang ayah, sehingga benih itu tumbuh dengan baik dan menghasilkan buah yang matang. Inilah system yang dikehendaki Allah dan diabadikan dalam ajaran Islam, sehingga semua system pernikahan yang berbeda tidak dibenarkan.
















BAB II
ISI

A.                Pengertian Nikah dan Hukum dalam Syariat
Pengertian nikah secara bahasa nikah berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan akad nikah. Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenangsenang dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dan segi nasab, sesusuan, dan keluarga.
Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki. Maksudnya, pengaruh akad ini bagi lelaki adalah memberi hak kepemilikan secara khusus, maka lelaki lain tidak boleh memilikinya. Sedangkan pengaruhnya kepada perempuan adalah sekadar menghalalkan bukan memiliki hak secara khusus. Oleh karenanya, boleh dilakukan poligami, sehingga hak kepemilikan suami merupakan hak seluruh istrinya. Lebih gamblangnya, syariat melarang poliandri dan membolehkan poligami.
Para ulama Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang Secara sengaja. Artinya, kehalalan seorang lelaki bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan. Dengan adanya kata “perempuan” maka tidak termasuk di dalamnya laki-laki dan banci musykil. Demi- kian juga, dengan kalimat “yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat” maka tidak termasuk di dalamnya perempuan pagan, mabram, jin perempuan, dan manusia air.
Itu karena perbedaan jenis, sebab Allah SWT berfirman yang artinya, “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dan jenis kamu sendiri.” (an Nahl: 72). Ayat tersebut menjelas maksud dan firman Allah SWT yang berarti, “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (an Nisaa’: 3). Yaitu wanita dan kalangan manusia. Oleh karenanya tidak halal menikahi dan jenis yang lain dengan tanpa dalil. Juga karena jin dapat berubah-ubah dengan berbagai macam bentuk. Kadang lelaki jin berubah bentuk menjadi perempuan. Dan dengan kata “sengaja” maka tidak termasuk di dalamnya kehalalan bersenang-senang dengan cara membeli budak untuk perseliran. Para ulama yang lain menggunakan kalimat “hi thariqi ashaalah” (dengan cara original) sebagai ganti dan kata “sengaja.” Sebagian ulama Hanafiah juga mendefinisikan bahwa nikah adalah akad yang dilakukan untuk memberikan hak milik segala manfaat dan kemaluan.

B.     Hukum Pernikahan dan Hikmah Disyariatkanya
Pernikahan disyariatkan dengan dalil dari Al-Qur’an, sunah, dan ijma’. Dalam A1-Qur’an, Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.” (an Nisaa’: 3) Juga firman-Nya yang artinya, “Dan kawinkan
lah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (an Nuur: 32)
Sedangkan di dalam sunah, Nabi saw. bersabda, yang artinya “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu kebutuhan pernikahan maka menikahlah. Karena menikuh itu dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga alat vital. Barangsiapa yang belum mampu menikah maka hendaknya dia berpuasa, karena itu merupakan obat baginya.” (HR Bukhari-Muslim)
Kaum muslimin juga telah berijma’ (hersepakat) bahwa pernikahan merupakan hal yang disyariatkan.

C.     Kriteria Perempuan Yang Hendak Dinikahi
Kriteria perempuan yang hendak dikhitbah mungkin dapat kita ringkas menjadi sebagaimana berikut, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Syafiiyyah, Hanabilah dan lainnya. Mereka berkata dengan menganjurkan hal-hal berikut:
1.      Perempuan tersebut hendaknya seorang yang mempunyai agama. Sebagaimana dalam hadits sebelumnya yang berarti, “Maka kamu harus lebih memilih perempuan yang mempunyai (ketaatan) agama.”
2.      Perempuan tersebut hendaknya subur (berpotensi dapat melahirkan banyak anak). Itu sebagaimana anjuran dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Menikahlah dengan perempuan yang penyayang lagi subun. Sesungguhnya aku kelak di hari kiamat akan membanggakan jumlah kalian yang banyak kepada umat umat lain.”
Perempuan perawan dapat diketahui kesuburannya karena berasal dan seorang ibu yang dikenal memiliki banyak anak.
3.      Hendaknya perempuan tersebut masih perawan. Sebagaimana dalam hadits Nabi saw., ‘Tidakkah kamu menikahi seonang perawan yang dapat kamu permainkan dan dia pun mempermainkanmu?” (HR Bukhari Muslim)
4.      Hendaknya perempuan tersebut berasal dan rumahyangdikenal mempunyai agama dan qana’ah. Karena itu merupakan sumber agama dan sifat qana’ahnya.
5.      Hendaknya perempuan tersebut berasal dan keluarga baik-baik, agar anaknya menjadi orang yang unggul. Karena sesungguhnya boleh jadi anak tersebut akan menyerupai keluarga si perempuan dan cenderung menirunya. Anjuran tersebut sebagaimana dalam hadits yang artinya, “Pilihlah karena keturunannya.”
Tidak sepatutnya menikahi seorang perempuan hasil dan perzinaan, perempuan telantar, dan perempuan yang tidak mengetahui siapa bapaknya. Menikahi mereka hukumnya makruh. Itu boleh saja dilakukan dan tidak haram. Adapun ayat yang artinya, “Seorang penzina tidak akan menikahi kecuali perempuan penzina....” (An-Nuur: 3), telah mansukh (dihapus). Atau boleh jadi itu memang benar-benar terjadi.
6.      Hendaknyaperempuantersebutcantik; karena itu lebih dapat membuat jiwa tenang, dapatmenundukkan pandangan, dan dapat lebih menyempurnakan rasa cinta si lelaki. Oleh karena itu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum menikah. Itu sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dan Abu Hurairah sebelumnya. Akan tetapi, para ulama Syafi’iah menganggap makruh mengkhitbah perempuan yang sangat cantik.
7.      Hendaknya perempuan itu bukan merupakan kerabat dekat agar anaknya menjadi lebih unggul. Sebagaimana ada yang mengatakan, “Sesungguhnya perempuan-perempuan yang bukan kerabat lebih unggul, sedangkan putri-putri paman sendiri lebih sabar.” Demikian juga, karena menikah dengan kerabat dekat tidak menjamin tidak terjadi perceraian. jika terjadi perceraian, hal itu dapat menyebabkan terputusnya tali silaturrahim keluarga, padahal menyambung tali silaturrahim keluarga sangat dianjurkan. Mengenai hal itu, Imam Rafi’i berdalil mengikuti apa yang ada dalam kitab washsiil, yaitu hadits yang berbunyi, Janganlah kalian menikahi kerabat dekat Karena sesungguhnya anak akan terlahir dalam keaduan kurus.”. Itu dikarenakan lemahnya syahwat.
8.      Hendaknya tidak lebih dan satu perempuan, jika dengan hal itu sudah dapat menjaga kesucian diri. Karena lebih dan dua dapat menyebabkan terjerumus ke dalam keharaman. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (an-Nisaa: 129). Nabi saw. juga bersabda, “Barangsiapa yang mempunyai dua istri, lantas dia Iebih condong kepada salah satu dan keduanya maka kelak di han kiamat ia akan datang dalam keadaan miring Sebelah.”
Menikah itu aslinya monogami bukan poligami.dimakruhkan seseorang perumpuan pezina atau yang terkenal sebagai pezina sekalipun tebrukti bahwa dia adalah seorang pezina.
D.    Rukun-rukun Pernikahan
Rukun pernikahan menurut para ulama Hanifah ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut jumhur ulama ada empat, yaitu sighat (ijab dan qabul), istri, suami, dan wali. Suami dan wali adalah dua orang yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan akad adalah al-istimtaa’ (bersenang-senang) yang merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan mahar bukan merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil bolehnya menikah dengan cara diwakilkan. Sedangkan saksi adalah merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut istilah yang beredar di kalangan sebagian ahli fiqih.
Menurut para ulama Hanafiah, ijab adalah perkataan yang pertama kali keluar dan salah satu kedua pihak yang berakad, baik dan pihak suami maupun istri. Sedangkan qabul menu- rut mereka adalah perkataan yang kedua dan salah satu pihakyang berakad. Adapun ijab menurut jumhur ulama adalah perkataan yang keluar dan wali istri atau orang yang menggantikannya sebagai wakil. Karena qabul hanya merupakan reaksi dan adanya ijab. jika qabul itu diucapkan sebelum ijab maka bukan namanya qabul karena sudah tidak bermakna lagi. Qabul adalah perkataan yang menunjukkan akan keridhaan untuk menikah yang diucapkan oleh pihak suami.
Jika seorang lelaki berkata kepada seorang perempuan, “Nikahkanlah dirimu kepadaku.” Kemudian si perempuan menjawab, “Aku terima.” Menurut para ulama Hanafiah, ucapan yang pertama merupakan ijab, sedangkan yang kedua merupakan qabul. Adapun menurut jumhur ulama justru seballknya. Karena wali perempuanlah yang memberikan hak milik kepada suami untuk bersenang-senang, maka perkataannya merupakan ijab. Sedangkan si suami yang menginginkan memiliki hak tersebut, oleh karenanya disebut qabul. Perundangan Syiria (Pasal 5) telah mencantumkan bahwasanya pernikahan dapat terlaksana dengan ijab dan salah satu pihak yang melakukan akad dan qabul dan pihak yang lain.

E.     Syarat-syarat Sighot Akad (Ijab dan Qobul)
Menurut kesepakatan para ulama, dalam shighat akad disyaratkan empat hal:
a)      Dilakukan dalam satu majelis, jika kedua belah pihak hadir. Jika ijab dan qabul tersebut dilakukan dalam majelis yang berbeda maka akad belum terlaksana. Jika si perempuan berkata, “Aku menikahkanmu dengan diriku,” atau seorangwali berkata, “Aku menikahkanmu dengan putriku,” lantas pihak yang lain berdiri sebelum mengucapkan kata qabul, atau menyibukkan diri dengan perbuatan yang menunjukkan berpaling dan majelis, kemudian setelah itu baru mengatakan, “Aku menerima,” maka akad tersebut tidak sah menurut para ulama Hanafiah. mi menunjukkan bahwa sekadar berdiri saja dapat mengubah majelis. Demikian juga jika pihak pertama meninggalkan majelis setelah mengucapkan kalimat ijab, lantas pihak kedua mengucapkan kata qabul di dalam majelis di saat pihak pertama tidak ada atau setelah kernbalinya, maka itu juga tidak sah.










BAB III
KESIMPULAN

1.     nikah secara bahasa nikah berarti mengumpulkan, atau sebuah
pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan akad nikah.
2.     Pernikahan disyariatkan dengan dalil dari Al-Qur’an, sunah, dan ijma’.
3.     Kriteria Perempuan Yang Hendak Dinikahi:
a.       Perempuan tersebut hendaknya seorang yang mempunyai agama.
b.      Perempuan tersebut hendaknya subur (berpotensi dapat melahirkan banyak anak).
c.       Hendaknya perempuan tersebut masih perawan.
d.      Hendaknya perempuan tersebut berasal dan rumahyangdikenal mempunyai agama dan qana’ah.
e.       Hendaknya perempuan tersebut berasal dan keluarga baik-baik, agar anaknya menjadi orang yang unggul.
f.       Hendaknyaperempuantersebutcantik.
g.      Hendaknya perempuan itu bukan merupakan kerabat dekat agar anaknya menjadi lebih unggul.










DAFTAR PUSTAKA

AZ-ZUHAILI WAHBAH. (2011) FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU. Jakarta: Gema insani



Comments

Popular posts from this blog

Dialog dengan Pasien Isolasi Sosial (Menarik Diri)

Contoh dialog sesuai Satuan Pelaksana pada pasien gangguan jiwa dengan isolasi diri atau menarik diri : Menarik  D iri   (Isolasi Sosial) Prolog Disebuah ruang arjuna terdapat terdapat pasien gangguan jiwa bernama Ny. S. Pasien masuk rumah sakit jiwa karena pasien asyik dengan pikirannya sendiri, tidak memiliki teman dekat, tidak adanya kontak mata, tampak sedih, efek tumpul serta melakukan tindakan berulang yang tidak bermakna sama sekali. Pasien juga merasa ditolak oleh keluarganya sendiri sehingga membuatnya kesepian. Diagnosa keperawatan untuk pasien yaitu isolasi sosial. SP 1 : Pasien membina hubungan saling percaya,membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan hubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain dan mengajarkan pasien berkenalan. Perawat           : “ Assallamualaikum wr,wb ” Pasien              : (pasien hanya diam) Perawat           : “ Saya H saya senang dipanggil ibu Her… Saya perawat diruang maw

Dialog dengan Pasien Gangguan Jiwa Susaide SP 1

STRATEGI PELAKSANAAN SUSAIDE SP 1 A.       Kondisi klien Data Subjektif: 1.       Mengungkapkan keinginan bunuh diri 2.       Mengungkapkan keinginan untuk mati 3.       Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan 4.       Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga 5.       Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat yang mematikan 6.       Mengungkapkan adanya konflik interpersonal 7.       Mengungkapkan telah terjadi korban perilaku kekerasan saat kecil Data Objektif: 1.       Impulsif 2.       Menunjukkan perilaku yang mencurigakan ( biasanya menjadi sangat patuh) 3.       Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan penyalahgunaan alkohol) 4.       Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal) 5.       Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan dalam karier) 6.       Status perkawinan yang tidak harmonis B.        Diagnosa keperawatan Risiko bunuh diri

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK) A.   LATAR BELAKANG Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007). Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah : sudah punya diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007). Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas orientasi realita , dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat, 2006). Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau kehidup