MAKALAH PENYEMBUHAN LUKA
KATA
PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, merupakan
satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah STW, yang karena
bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah makalh ilmu bedah
berjudul "Penyembuhan Luka".
Makalah ini dibuat dengan berbagai
observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa
dipertanggungjawabkan hasilnya. Saya mengucapkan terimakasih kepada pihak
terkait yang telah membantu saya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam
penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih sangat
banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu saya
mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah
ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua
Penyusun
A. Penyembuhan
luka
Luka adalah hilang atau rusaknya
sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh trauma benda tajam atau
tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan
hewan (R. Sjamsuhidayat, 2005).
Proses
yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang
dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase
penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodelling) jaringan.
1. Fase
Inflamasi
Fase
inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima.
Pembuluh darah yang terputus padda luka akan menyebabkan pendarahan dan tubuh
akan berusaha menghentikannya dengan vasokon-striksi, pengerutan ujung pembuluh
yang putus (retraksi), dan reaksi hemostatis. Hemostatis terjadi karena
trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama jala
fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.
Sementara itu, terjadinya reaksi inflamasi.
Sel
mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi, penyebutkan sel radang,
disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda
dan gejala klinis reaksi radang menjadi jelas yang berupa warna kemerahan
karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan
pembengkakan (tumor).
Aktivitas
seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit mrnrmbus dinding pembuluh darah
(diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim
hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan
monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan
bakteri. Fase ini disebut juga fase lambah karena reaksi pembentukan kolagen
baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.
2. Fase
Proliferasi
Fase
proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira
akhir minggu ketiga. Fibrolblast berasal dari sel mesenkim yang belum
berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin
yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka.
Pada
fase ini, serat-serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri
dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan
sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir
fase ini, kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam
proses penyudahan, kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul
dan antarmolekul.
Pada
fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen,
membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus
yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal
terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian
diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya
terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah
epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya
permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga
akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penudahan.
3. Fase
Penyudahan
Fase ini terjadi proses pematangan
yang terdiri atas penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai
dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat
berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang
sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal
karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi
matang, kapiler baru menutup dan diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru
menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut
sesuai dengan regangan yang ada.
Selama
proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas, serta mudah
digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir
faseini, perupaaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan
kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan. Perupaan
luka tulang memerlukan waktu satu tahun atau lebih untuk membentuk jaringan
yang normal secara histologi atau secara bentuk.
B. Klasifikasi
penyembuhan luka
Penyembuhan
luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara alami. Luka akan terisi
jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini
disebut penyembuhan sekunder atau sanatio per secundam intentionem. Cara ini
biasanya memakan waktu cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik,
terutama kalau luka menganga lebar.
Jenis
penyembuhan yang lain adalah penyembuhan primer atau sanatio per primam
intentionem, yang terjadi bila luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan
bantuan jahitan. Parut yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil.
Namun,
penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang terkontaminasi
berat dan atau tidak berbatas tegas. Luka yang compang-camping seperti luka
tembak, sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada
pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan
infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian sebaiknya dibersihkan
dan dieksisi (debrideman) dahulu dan kemudian dibiarkan selama 4-7 hari. Baru
selanjutnya dijahit dan akan sembuh secara primer. Cara iniumumnya disebut penyembuhan
primer tertunda.
Jika,
setelah diakukan debrideman, luka langsung dijahit, dapat diharapkan terjadi
penyembuhan primer. Pada manusia, penyembuhan luka dengan cara reorganisasi dan
regenerasi jaringan hanya terjadi pada epidermis, hati, dan tulang yang dapat
menyembuhkan alami tanpa meninggalkan bekas. Organ lain, termasuk kulit,
mengalami penyembuhan secara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti
oleh jaringan ikat yang tidak sama dengan jaringan semula.
C. Penyembuhan
Jaringan Khusus
1.
Tulang
Pada
patah tulang panjang yang korteksnya cukup tebal terjadi perdarahan yang
berasal dari pembuluh darah di endostinum, dikanal Havers pada korteks, dan di
periostium. Hematom yang terbentuk segera diserbu oleh proliferasi fibroblast
yang bersifat osteogenik yang berasal dari mesenkim periostium dan sedikit dari
endostium. Fibroblast esteogenik berubah menjadi osteoblast ddan menghasilkan
bahan organik antarsel yang disebut osteoid. Osteoblast yang terkurung dalam
lakuna oleh osteoid disebut osteosit. Proses pembentukan tulang ini disebut
osifikasi. Bekas hematom yang berosteoid disebut kalus yang tidak tampak secara
radiologis. Kalus akan makin padat, seakan merekat patahan.
Di daerah yang agak jauh dari
patahan dan pendarahannya lebih bagus, mulai terbentuk jaringan tulang karena
proses peletakan kalsium pada osteoid, sedangkan di daerah patahan sendiri,
yang pendarahannya lebih sedikit, osteoblast berdiferensiasi menjadi
kondroblast dan membentuk tulang rawan. Kalus eksterna dan interna yang berubah
menjadi jaringan tulang dan tulang rawan makin keras dan setelah menjadi terisi
kalsium menjadi jelas pada pemeriksaan radiologi. Bagian tulang rawan kemudian
berubah menjadi tulang biasa melalui proses enkodral. Pada saat ini, patahan
dikatakan telah menyambung dan menyembuh secara klinis. Selanjutnya, terjadi
pembentukan tulang lamelar dan perupaan kembali selama berbulan-bulan.
Pada
anak, perupaan kembali dari kalus primer ini disertai proses pengaturan kembali
pertumbuhan epifisis sehingga sudut patahan akan pulih sampai derajat tertentu.
Penyembuhan
patah tulang yang bukan tulang pipa (tulang pendek) berjalan lebih cepat karena
pendarahan yang lebih kaya. Nekrosis yang terjadi di pinggir patahan tulang
tidak banyak, dan kalus interna segera mengisi rongga patah tulang.
Penyembuhan
patah tulang yang terjadi pada tindakan reduksi dan setelah fiksasi metal yang
kuat berjalan lebih cepat dan lebih baik. Ini dapat ddigolongkan penyembuhan
per primam. Dengan fiksasi, daerah patahan terlindung dari stres dan tidak ada
rangsang yang menimbulkan kalus sehingga, setelah bahan osteosintesis
dikeluarkan, tulang kurang kuat dibandingkan dengan tulang yang sembuh per
sekundam dengan kalus.
2.
Tendo
Bila
tendo yang merupakan ujung dari otot lurik luka atau putus, hematom yang
terjadi akan mengalami proses penyembuhan alami dan menjadi jaringan ikat yang
melekat pada jaringan sekitarnya. Bagian distal akan mengalami hipertrofi
karena tidak ada yang menggerakkan. Dengan demikian, tendo yang putus sama
sekali tidak akan berfungsi kembali. Untuk dapat berfungsi kembali, tendo harus
dijahit dengan teknik khusus dan rapi disertai perawatan pascatindakan yang
khusus agar perlekatan denga jaringan
sekitarnya dikurangi dan tendo masih dapat bergerak dan meluncur bebas.
3.
Fasia
Luka
pada fasia akan mengalami penyembuhan alami yang normal. Hematom dan eksudasi
yang terjadi akan diganti dengan jaringan ikat. Bila otot tebal, kuat, dan luka
robeknya tidak sembuh betul dengan atau tanpa dijahit, mungkin akan tertinggal
defek yang dapat mengalami herniasi otot.
4.
Otot
Otot
lurik dan otot polos diketahui mampu sembuh dengan membentuk jaringan ikat.
Walaupun tidak mengalami regenerasi, faal otot umumnya tidak berkurang karena
adanya hipertifi sebagai kompensasi jaringan otot sisa. Sifat ini menyebabkan
luka otot perlu dijahit dengan baik.
5.
Usus
Luka
pada usus tentu harus dijahit, tidak dapat dibiarkan sembuh per sekundam
intentionem karena kebocoran isi usus akan menyebabkan peritonitis umum.
Penyembuhan biasanya cepat karena dinding usus kaya akan darah sehingga dalam
2-3 minggu kekuatannya dapat melebihi daerah yang normal.
6.
Serabut saraf
Trauma
pada syaraf dapat berupa trauma yang memutus saraf atau trauma tumpul yang
menyebabkan tekanan atau tarikan saraf. Penekanan akan menimbulkan kontusio
serabut saraf dengan kerangka yang umumnya masih utuh, sedangkan tarikan
mungkin menyebabkan putusnya serabut dengan kedua ujung terpisah jauh.
Bila
akson terputus, bagia distal akan mengalami degenerasi Waller karena akson
merupakan perpanjangan sel saraf di ganglion atau di tandukdepan sumsum tulang
belakang. Akson yang terputus meninggalkan selubung mielin kosong yang lama
kelamaan kolaps atau terisi fibroblast. Sel saraf di pusat setelah 24-48 jam
akan menumbuhkan akson baru ke distal dengan kecepatan kira-kira 1 mm per hari.
Akson ini dapat tumbuh baik sampai ujungnya di organ akhir bila dalam
pertumbuhannya menemukan selubung mielin yang utuh. Dengan selubung inilah
akson tumbuh ke distal. Bila dalam petumbuhannya akson tidak menemukan selubung
yang kosong, pertumbuhannya tidak maju, dan akan membentuk tumor atau gumpalan
yang terdiri atas akson yang tergulung. Ini disebut neuroma. Tentu saja tidak
setiap akson akan menemukan selubung mielin yang masih kosong dan yang sesuai,
terutama kalau saraf tersebut merupakan campuran sensoris dan motoris. Kalau
selubung mielin sudah dimasuki akson salah, akson yang benar tidak mungkin
menemukan selubung lagi.
Mengingat
syarat tumbuhnya akson ini, lesi tekan dengan kerangka yang relatif lebih utuh
memberikan prognosis lebih baik daripada lesi tarik yang merusak pembuluh darah
nutrisi. Melalui bedah-mikro, ujung setiap fasikulus yang terputus
dipertemukan, kemudian saraf yang terputus itu disambung dengan menjahit epi-
dan perineuriumnya. Upaya ini memberikan hasil yang lebih baik.
7.
Jaringan saraf
Bila
jaringan saraf mengalami trauma, sel saraf yang rusak tidak akan pulih karena
sel saraf tidak bermitosis sehingga tidak memiliki daya regenerasi. Tempat sel
yang rusak akan digantikan oleh jaringan ikat khusus yang terdiri atas sel gila
dan membentuk jaringan yang disebut gliosis.
8.
Pembuluh darah
Proses
penyembuhan luka pada pembuluh darah bergantung pada besarnya luka, deranya
arus darah yang keluar, dan kemampuan tamponade jaringan sekitarnya. Pada pembuluh
yang luka, serat elastin pada dinding pembuluh akan mengerut dan otot polosnya
berkontraksi. Bila kerutan ini lebih kuat daripada arus darah yang keluar, luka
akan menutup dan perdarahan berhenti. Bila sempat terbentuk gumpalan darah yang
menyumbat luka, permukaan dalam gumpalan perlahan-lahan akandilapisi endotel
dan mengalami organisasi menjadi jaringan ikat. Bila hematom sangat besar
karena arus darah yang keluar kuat, bagian tengah akan tetap cair karena
tubulensi arus, sedangkan dinding dalamnya perlahan-lahan akan dilapisi endotel
sehingga terjadi aneurisma palsu. Bila pembuluh sampai putus, ujung potongan
akan mengalami retraksi dan kontraksi akibat adanya serat elastin dan otot
dinding.
D.
Gangguan penyembuhan luka
Penyembuhan
luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh sendiri (endogen) atau oleh
penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen terpenting adalah gangguan
koagulasi yang disebut koagulopati dan gangguan sistem imun. Semua gangguan
pembekuan darah akan menghambat penyembuhan luka sebab hemostatis merupakan
titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan
mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan, dan kontaminasi. Bila
sistem daya tahan tubuh, baik seluler maupun humoral terganggu, pembersihan
kontaminasi dan jaringan mati serta penahanan infeksi tidak berjalan baik.
Gangguan
sistem imun dapat terjadi pada infeksi virus,terutama HIV, keganasan tahap
lanjut, penyakit menahun berat seperti tuberkolosis, hipoksia setempat, seperti
ditemukan pada arteriosklerosis, diabetes melitus, morbus Raynaud, morbus
Burger, kelainan perdarahan (hemangloma, fistel arteriovena), atau fibrosis.
Sistem imun juga dipengaruhi oleh gizi kurang akibat kelaparan, malabsorbsi,
juga oleh kekurangan asam amino esensial, mineral, maupun vitamin, serta oleh
gangguan dalam metabolisme makanan, misalnya pada penyakit hati. Selain itu,
fungsi sistem imun ditekan oleh keadaan umum yang kurang baik, seperti pada
usia lanjut dan penyakit tertentu, misalnya penyakit Cushing dan penyakit
Addison.
Penyebab
eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan mengganggu mitosis dan
merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut. Pemberian sitostatik, obat
penekan reaksi imun, misalnya setelah transplantasi organ, dan kortikosteroid
juga akan memengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh setempat, seperti infeksi,
hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti sekuester dan nekrosis,
sangat menghambat penyembuhan luka.
Bila
luka atau ulkus (borok) tidak kunjung sembuh, harus dilakukan peneriksaan
kembali dengan memperhatikan fase penyembuhan luka untuk menentukan sebab
gangguan. Lakukan anamnesis lengkap dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik,
radiologi, biakan, dan kalau perlu lakukan biopsi histologik/patologik serta
pemeriksaan serologik.
E.
Faktor-faktor yang dapat memperlambat
penyembuhan luka
Faktor-faktor yang dapat merugikan
di tempat luka yang dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi sebagai
berikut :
1.
Kurangnya suplai darah dan pengaruh hipoksia
Luka
dengan suplai darah yang buruk sembuh dengan lambat. Jika faktor-faktor yang
esensial untuk penyembuhan, seperti oksigen, asam amino, vitamin dan mineral,
sangat lambat mencapai luka karena lemahnya vaskularisasi, maka penyembuhan
luka tersebut akan terhambat, meskipun pada pasien-pasien yang nutrisinya baik.
Beberapa
area tubuh, seperti wajah, mempunyai suplai darah yang baik, yang sangat sulit
untuk terganggu, sementara daerah-daerah yang lain, seperti kulit di atas
tibia, merupakan daerah yang buruk suplai darahnya, sehingga trauma yang
minimal sekalipun, dapat menyebabkan ulkus tungkai yang sulit ditangani pada
beberapa pasien.
Tepian
luka yang sedang tumbuh merupakan suatu daerah yang aktivitas metaboliknya
sangat tinggi (Niinikoski, 1980). Dalam hal ini, hipoksia menghalangi mitosis
dalam sel-sel epitel dan fibroblas yang bermigrasi, sintesa kolagen, dan
kemampuan makrofag untuk menghancurkan bakteri yang tercerna (Silver, 1980).
Meskipun demikian, bilamana tekanan parsial oksigen pada tempat luka rendah,
maka makrofag memproduksi suatu faktor yang dapat merangsang angiogenesis.
Dengan merangsang pertumbuhan kapiler-kapiler darah yang baru, maka masalah
lokal hipoksia dapat diatasi (Cherry dan Ryan, 1985). Kepentingan yang teramat
besar terhadap pemantapan kembali suplai darah yang adekuat dengan cepat untuk
“pengangkatan” grafts kulit dan untuk keberhasilan flaps jaringan.
2.
Dehidrasi
Jika
luka terbuka dibiarkan terkena udara, maka lapisan permukaanya akan mengering.
Sel-sel epitel pada tepi luka bergerak ke bawah, di bawah lapisan tersebut,
sampai sel-sel tersebut mencapai kondisi lembab yang memungkinkan mitosis dan
migrasi sel-sel untuk menembus permukaan yang rusak (Silver, 1980). Waktu yang
panjang akibat membiarkan luka itu mengering mengakibatkan lebih banyak jaringan
yang hilang dan menimbulkan jaringan parut, yang akhirnya dapat menghambat
penyembuhan (Turner, 1985). Jika sebuah luka dipertahankan tetap lembab di
bawah pembalut semipermeabel atau pembalut oklusif, maka penyembuhan dapat
terjadi jauh lebih cepat (Winter, 1978). Tetapi pada beberapa kasus, pemajanan
luka pada udara menjadi satu-satunya cara penyembuhan luka bakar fasialis.
3.
Eksudat berlebihan
Terdapat
suatu keseimbangan yang sangat halus antara kebutuhan akan lingkungan luka yang
lembab, dan kebutuhan untuk mengeluarkan eksudat berlebihan yang dapat
mengakibatkan terlepasnya jaringan. Eksotoksin dan sel-sel debris yang berada
di dalam eksudat dapat memperlambat penyembuhan dengan cara mengabadikan
respons inflamasi.
4.
Turunnya temperatur
Aktivitas
fagositik dan aktivitas mitosis secara khusus mudah terpengaruh terhadap
penurunan temperatur pada tempat luka. Kira-kira dibawah 28oC,
aktivitas leukosit dapat turun sampai nol (Myers, 1982). Apabila luka basah
menunggu pemeriksaan dokter, maka temperatur permukaan dapat menurun sampai
paling rendah 12oC. Pemulihan jaringan ke suhu tubuh dan aktivitas
mitosis sempurna, dapat memakan waktu sampai 3 jam (Turner, 1982).
Jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan, dan benda
asing
Jaringan nekrotik dan krusta yang
berlebihan di tempat luka dapat memperlambat penyembuhan dan meningkatkan
risiko terjadinya infeksi klinis. Demikian juga, adanya segala bentuk benda
asing (Burke, 1980), termasuk bahan-bahan jahitan dan drain luka. Oleh karena
itulah maka sangat penting untuk mengeluarkan kontaminan organik maupun
anorganik secepat mungkin tetapi dengan trauma yang minimum terhadap jaringan
yang utuh.
5.
Hematoma
Dimana
sebuah luka telah ditutup secara bedah, baik dengan jahitan primer, graft
kulit, ataupun dengan pemindahan flap jaringan, maka penyebab penting dari
terlambatnya penyembuhan adalah terjadinya hematoma. Hematoma dapat menyebabkan
komplikasi melalui beberapa cara yaitu :
a. Hematoma
menyediakan media pembiakan yang sangat baik bagi mikroorganisme, yang mungkin
dalam keadaan lain hanyalah organisme komensal, sehingga dapat meningkatkan
risiko infeksi klinis dan kerusakan luka.
b. Hematoma
meningkatkan regangan pada luka.
c. Hematoma
bertindak seperti sebuah benda asing, yang dapat menyebabkan fibrosis jaringan
parut yang berlebihan.
d. Pencegahan
hubungan vaskular yang cepat di antara permukaan yang masih mentah, dapat
menyebabkan gagalnya graft kulit dan flap.
6.
Trauma dapat berulang
Pada
sebuah luka terbuka, trauma mekanis dengan mudah merusak jaringan granulasi
yang penuh dengan pembuluh darah dan mudah pecah, epitelium yang baru saja
terbentuk dan dapat menyebabkan luka sehingga kembali ke keadaan fase
penyembuhan tertentu yaitu fase respons inflamasi akut.
Trauma
berulang dapat disebabkan oleh berbagai hal. Jika seorang pasien penderita
dekubitus ditempatkan dengan bagian yang sakit di atas tempat tidur atau di
sebuah kursi, maka kemudian tenaga tekanan yang terjadi, robekan, dan gesekan,
dapat menyebabkan kerusakan lapisan kulit di atasnya, yang tak dapat dihindarkan
sehingga dapat merusak penyembuhan jaringan yang masih sangat lunak, sehingga
luka justru akan bertambah besar. Trauma juga dapat disebabkan oleh pelepasan
balutan yang kurang hati-hati. Bahkan pada saat dilakukan perawatan yang baik
sekalipun, beberapa luka karena trauma masih sangat mungkin terjadi jika
digunakan kasa yang ditempelkan langsung pada permukaan luka, sehingga lengkung
kapiler darah tumbuh melalui rajutan serat kapas yang ada pada kapas dan dapat
terobek pada saat balutan itu dilepaskan. Banyak balutan yang seharusnya hanya
memiliki daya rendah, dapat merekat erat pada luka jika dibiarkan terpasang
terlalu lama, terutama jika terjadi pengeluaran eksudat dan luka itu mengering.
Perdarahan luka saat pelepasan balutan adalah tanda trauma yang jelas.
RINGKASAN
Luka adalah hilang atau rusaknya
sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh trauma benda tajam atau
tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan
hewan (R. Sjamsuhidayat, 2005).
Proses
yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang
dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase
penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodelling) jaringan.
Pada manusia, penyembuhan luka
dengan cara reorganisasi dan regenerasi jaringan hanya terjadi pada epidermis,
hati, dan tulang yang dapat menyembuhkan alami tanpa meninggalkan bekas. Organ
lain, termasuk kulit, mengalami penyembuhan secara epimorfosis, artinya
jaringan yang rusak diganti oleh jaringan ikat yang tidak sama dengan jaringan
semula.
Penyembuhan jaringan khusus
meliputi yaitu tulang, tendo, fasia, otot, usus, serabut saraf, jaringan saraf
dan pembuluh darah. Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam
tubuh sendiri (endogen) atau oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen).
Faktor-faktor lokal yang merugikan
pada tempat luka yaitu kurangnya suplai darah dan pengaruh hipoksia, dehidrasi,
eksudat berlebihan, turunnya temperatur, jaringan nekrotik, krusta yang
berlebihan, dan benda asing, dan trauma dapat berulang.
DAFTAR
PUSTAKA
Burke, L.M. 1980. The Physiology of wound infection. In Hunt,
T.K. (ed.), Wound Healing and Wound
Infection: Theory and Surgical Practice, pp. 242-247
Cherry, G.W., and Ryan, T.J. 1985. Enhanced wound
angiogenesis with a new hydrocolloid dressing. In Ryan, T.J. (ed), An Enviroment for Healing: the Role of
Occlusion, pp. 61-68. Royal Society of Medicine International Congress and
Symposium Series (No. 88), London
Moya J.M., Tyasmono A.F. 2004. Manajemen Luka. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Myers, J.A. 1982. Wound healing and the use of a modern
surgical dressing. The Pharmaceutical
Journal 229, 103-104.
Niinikoski, J. 1980. The effect of blood and oxygen supply on
the biochemistry of repair. In Hunt, T.K. et al (eds). Fundamentals of Wound Management, pp. 56-70. Appleton-Century
Croft, New York.
Silver, I.A. 1980. The Physiology of wound healing In Hunt,
T.k. et al. (eds), Fundamentals of Wound
Management pp. 11-28. Appleteon-Century Crofts, New York.
Sjamsuhidajat & Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Turner, TD. 1982. Synthaderm-an enviromental dressing. The Pharmaceutical Journal 228, 206-208
Winter, G.D. 1978. Wound healing. Nursing Mirror, 146(10). (Supplement), pp. i-viii.
Comments
Post a Comment