MAKALAH DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
BAB
I
A. LATAR BELAKANG
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) atau
Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes
aegypti (Nursalam, 2005). Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan
dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak. Penyakit ini juga sering
menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Anak-anak dengan DHF umumnya
menunjukkan peningkatan suhu tiba-tiba yang disertai dengan kemerahan wajah dan
gejala konstitusional non-spesifik yang menyerupai DF, seperti anoreksia,
muntah, sakit kepala, dan nyeri otot atau tulang dan sendi (WHO, 1999).
Virus dengue akan masuk ke dalam
tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan
antibodi dan terbentuklah kompleks virus antibody, dalam sirkulasi akan
mengaktivasi sistem komplement. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan
C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator
kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.
Wabah demam dengue di Eropa meletus
pertama kali pada tahun 1784, sedangkan di Amerika Selatan wabah itu muncul
diantara tahun 1830 – 1870. Di Afrika wabah demam dengue hebat terjadi pada
tahun 1871 – 1873 dan di Amerika Serikat pada tahun 1922 terjadi wabah demam
dengue dengan 2 juta penderita. Dalam kurun waktu 4 tahun yaitu pada tahun
2007-2010, kasus DBD di Indonesia meningkat tiap tahunnya. Terdapat dua puncak
epidemik di tahun 2007 terdapat 158.115 kasus dan 2009 terdapat sekitar 158.912
kasus. Pada tahun 2008 terdapat 137.469 kasus (Insiden Rate = 59,02 per 100.000
penduduk) dan tahun 2010 mencapai sekitar 140.000 kasus.
Provinsi Jawa Tengah dapat
dikatakan sebagai provinsi yang endemis untuk penyakit DBD. Berdasarkan data
dari profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 terdapat sebanyak
20.565 kasus, tahun 2008 sebanyak 19.307 kasus, tahun 2009 kasus turun menjadi
18.728 kasus dan pada tahun 2010 sekitar 17.000 kasus DBD.
B. TUJUAN
1. Tujuan
Umum
a. Mahasiswa
mampu menjelaskan DHF
2. Tujuan
Khusus
a. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan pengertian DHF
b. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan etiologi DHF
c. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan vektor DHF
d. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan epidemiologi DHF
e. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan manifestassi klinis untuk DHF
f. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan patofisiologi DHF
g. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan pathways DHF
h. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan temuan laboratorium pada DHF
i.
Mahasiswa mampu mendeskripsikan komplikasi dan manifestasi
takunum DHF
j.
Mahasiswa mampu mendeskripsikan pentahapan
keparahan DHF
BAB
II
A. TINJAUAN PUSTAKA
1.
Pengertian Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
Dengue ialah suatu infeksi arbovirus (arthrop-borne virus) akut, ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes (FK
UI, 1985, hlm. 607). Dengue Hemorrhagic fever (DHF) atau Demam berdarah dengue
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (Nursalam,
2005). Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan
kematian, terutama pada anak. Penyakit ini juga sering menimbulkan kejadian
luar biasa atau wabah.
Demam berdarah dengue atau DHF adalah penyakit demam akut
yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dan ditandai dengan empat
gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi perdarahan,
hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya renjatan
(sindroma renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat
menyebabkan kematian (Soe soegijanto, 2002).
Demam berdarah dengue adalah penyakit demam akut dengan
ciri-ciri demam manifestasi perdarahan, dan bertendendi mengakibatkan renjatan
yang dapat menyebabkan kematian (Mansjoer, 2005). Puncak kasus DBD terjadi pada
musim hujan yaitu bulan Desember sampai dengan Maret.
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh Virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk
aedes aegypti (Suriadi, 2010). Menurut Aziz Alimul H. (2006) Dengue Haemorargic
Fever (DHF) merupakan penyakit yang disebabkan oleh karena virus dengue yang
termasuk golongan arbovirus melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Penyakit ini lebih dikenal dengan sebutan
Demam Berdarah Dengue (DBD).
Demam berdarah dengue ialah penyakit yang terutama terdapat
pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya
memburuk setelah dua hari pertama (Soeparman, 1993).
2.
Etiologi DHF
Virus dengue termasuk dalam kelompok arbovirus B. Dikenal 4
serotipe virus dengue yang saling tidak mempunyai imunitas silang. Sabin adalah
orang pertama yang berhasil mengisolasi virus dengue, yaitu dari darah
penderita sewaktu terjadi epidemi demam dengue di Hawaii dengan nama tipe 1,
sedangkan virus dari penderita demam dengue yang berasal dari New Guinea diberi
nama tipe 2 (FK UI, 1985).
Virus dengue tipe 1 dan tipe 2 berhasil diisolasi dengan
menyuntik darah penderita secara intrakutis pada anak tikus putih muda. Dari
serum penderita yang diserang Philippene hemorrhagic fever yang terjadi di
Manila pada tahun 1953 dapat diisolasi tipe virus dengue baru yang diberi nama
virus dengan tipe 3 dan 4. Virus dengue dengan tipe 1 dan tipe 2 berhasil
diisolasi dengan menyuntik darah penderita secara intrakutis pada anak tikus
putih muda. Dari serum penderita yang diserang Philippine hemorrhagic fever
yang terjadi di Manila pada tahun 1953 dapat disolasi tipe virus dengue baru
yang diberi nama virus dengue tipe 3 dan tipe 4. Ae. Albopictus sel C6/36, “a
clone of Singh’s Ae. albopictus cells” untuk mengisolasi virus. Biakan jaringan
itu diberi kode sel c6/36 dan disebut “a clone of Singh’s Ae. albopictus cell” karena Singh
adalah sarjana pertama yang membuat biakan jaringan Ae. albopictus, sedangkan
kloning biakan jaringan dikembangkan oleh Igarashi. Isolasi virus dengue dengan
menggunakan biakan jaringan nyamuk Ae, aegypti atau Ae, albopictus disebut mosquito inoculation technique yang
merupakan suatu teknik baru, sangat sensitif, sederhana dan murah. Sensitivitas
isolasi bergantung pada serotipe virus, macam strain, macam biakan jaringan, asal biakan jaringan, jumlah pasase
biakan jaringan dan lain-lain (FK UI, 1985).
3.
Vektor DHF
Sampai saat ini telah diketahui beberapa nyamuk sebagai
vektor dengue. Walaupun Ae. aegypti diperkirakan sebagai vektor utama penyakit Dengue hemorrhagic fever (DHF),
pengamatan epidemiologis dan percobaan penularan di laboratorium membuktikan
bahwa Ae. scuttelaris dan Ae (FK UI, 1985). Polynesiensis yang terdapat di
Kepulauan Pasifik Selatan dapat menjadi vektor demam dengue. Di Kepulauan
Rotuma di daerah Fiji pada waktu terjadi wabah demam dengue pada tahun 1971 –
1972, Ae. rotumae dilaporkan sebagai satu-satunya vektor yang ditemukan. Di
pulau Ponape, kepulauan Caroline sebelah Timur pada tahun 1974 terjadi letupan
wabah dengue; virus dengue tipe 1 telah berhasil diisolasi pada stadium akut
dari darah penderita dan ternyata Ae. hakansomi merupakan vektornya. Ae. cooki
diduga merupakan vektor pada waktu terjadi wabah semam dengue di Nieue. Di
Indonesia, walaupun vektor DHF belum diselidiki secara luas, Ae. aegypti diperkirakan sebagai vektor
terpenting didaerah perkotaan, sedangkan Ae. albopictus di daerah pedesaan.
4.
Epidemiologi DHF
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu
spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
dengue fever, dengur hemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS); yang terakhir dengan mortalitas tinggi
yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat (FK UI, 1985). Gambaran
manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan dengan sebuah gunung es.
DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak
gunung es yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus-kasus dengue
ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung es.
Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah
terjadi 150 – 200 kasus silent dengue
infection.
Wabah demam dengue di Eropa meletus pertama kali pada tahun
1784, sedangkan di Amerika Selatan wabah itu muncul diantara tahun 1830 – 1870.
Di Afrika wabah demam dengue hebat terjadi pada tahun 1871 – 1873 dan di
Amerika Serikat pada tahun 1922 terjadi wabah demam dengue dengan 2 juta
penderita.
Dalam kurun waktu 4 tahun yaitu pada tahun 2007-2010, kasus
DBD di Indonesia meningkat tiap tahunnya. Terdapat dua puncak epidemik di tahun
2007 terdapat 158.115 kasus dan 2009 terdapat sekitar 158.912 kasus. Pada tahun
2008 terdapat 137.469 kasus (Insiden Rate = 59,02 per 100.000 penduduk) dan
tahun 2010 mencapai sekitar 140.000 kasus.
Provinsi Jawa Tengah dapat dikatakan sebagai provinsi yang
endemis untuk penyakit DBD. Berdasarkan data dari profil kesehatan Provinsi
Jawa Tengah pada tahun 2007 terdapat sebanyak 20.565 kasus, tahun 2008 sebanyak
19.307 kasus, tahun 2009 kasus turun menjadi 18.728 kasus dan pada tahun 2010
sekitar 17.000 kasus DBD.
Di beberapa negara penularan virus dengue dipengaruhi oleh
adanya musim, jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan
curah hujan. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, akan
tetapi secara garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat
antara bulan September sampai Februari dan mencapai puncaknya pada bulan Januari.
Di daerah urban yang berpenduduk padat puncak penderita adalah bulan Juni-Juli
hal ini bertepatan dengan awal musim kemarau. Dari pengamatan di Surabaya
antara tahun 1987-1991 menunjukkan bahwa distribusinya berubah-ubah dan
puncaknya mengikuti pola perubahan kejadian musim hujan ke musim panas atau
sebaliknya.
Demikian juga data yang ada pada instalasi rawat inap di
bagian ilmu kesehatan anak RSUD Dr. Soetomo pada tahun 1997, polanya tidak
banyak perbedaan. Dikemukakan bahwa banyaknya kasus DBD tersebut ada hubunganya
dengan kepadatan nyamuk dewasa dan jentik nyamuk Aedes aegyti yang sering
dijumpai ditempat penampungan air akibat curah hujan.
Walaupun DHF bisa mengenai semua kelompok umur, namun
terbanyak pada anak dibawah umur 15 tahun. Di Indonesia, Suroso (1997)
mengemukakan bahwa penderita demam berdarah dengue terbanyak umur 5-14 tahun.
5.
Manifestasi klinis demam berdarah dengue
Semua
yang ada berikut ini harus ada pada DHF (WHO, 1999):
a.
Demam, atau riwayat demam akut, berlangsung 2-7
hari kadang bifasik.
b.
Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya
dengan satu hal berikut:
1) Tes
tournikt positif
2) Petekie,
ekimosis atau purpura
3) Perdarahan
dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau lokasi lain.
4) Hematemesis
dan melena
c.
Trombositopenia (100.000 sel per mm3
atau kurang).
d.
Adanya rembesan plasma karena peningkatan
permeabilitas vaskular, dimanifestasikan oleh sedikitnya hal berikut:
1) Peningkatan
hematokrit sama atau lebih besar dari 20% diatas rata-rata usia, jenis kelamin,
dan populasi.
2) Penurunan
hematokrit setelah tindakan penggantian volume sama dengan atau lebih besar
dari 20% data dasar.
3) Tanda-tanda
rembesan plasma seperti efusi pleural, asites, dan hipoproteinemia.
6.
Patofisiologi DHF
Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk
aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah
kompleks virus antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplement.
Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya
untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai faktor
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma
melalui endotel dinding itu.
Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan
menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen)
merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan
saluran gastrointestinal pada DHF.
Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunya volume plasma, terjadinya
hipotensi, trombositopenia dan diatesis homoragik. Renjatan terjadi secara
akut.
Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien
mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan,
asidosis metabolik dan kematian.
7.
Pathway DHF
Lampiran
8.
Temuan laboratorium pada DHF
Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah temuan tetap pada
DHF (WHO, 1999). Penurunan pada jumlah trombosit sampai dibawah 100.000 per mm3
biasanya ditemukan antara hari ketiga dan kedelapan, sering sebelum atau
bersamaan dengan perubahan hematokrit. Peningkatan kadar hematokrit, yang
menunjukkan rembesan plasma, selalu terjadi, bahkan pada kasus non-syok, tetapi
lebih menonjol pada kasus syok. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit
20% atau lebih dianggap menjadi bukti definitif adanya peningkatan
permeabilitas vaskular dan rembesan plasma. Harus diperhatikan bawha kadar
hematokrit dapat dipengaruhi baik pada penggantian dini volume atau oleh
perdarahan. Hubungan perjalanan waktu antara penurunan jumlah trombosit dan
peningkatan cepat hematokrit tampak menjadi unik pada DHF; baik perubahan
terjadi sebelum penurunan suhu dan sebelum awitan syok.
Pada DHF, jumlah sel darah putih mungkin bervariasi pada
awitan penyakit, berkisar dari leukopenia sampai leukositosis ringan, tetapi
penurunan jumlah sel darah putih total karena penurunan pada jumlah neutrofil
secara nyata selalu terlihat mendekati akhir fase demam. Limfositosis relatif,
dengan adanya limfositis atipikal, adalah temuan umum sebelum penurunan suhu
atau syok. Albuminuria ringan transien kadang terjadi, dan darah samar sering
ditemukan dalam feses. Pada kebanyakan kasus, asai koagulasi atau faktor fibrinolitik
menunjukkan penurunan fibrinogen, protombin, faktor VIII, faktor XII, dan
antitrombin III. Reduksi pada antiplasmin-α (inhibitor α-plasmin) telah
ditemukan pada beberapa kasus. Pada kasus berat dengan disfungsi hepar nyata,
reduksi terlihat pada kadar faktor protrombin yang adalah vitamin K dependen,
seperti pada faktor V, VII, IX, dan X. Masa tromboplastin parsial dan masa
protrombin memanjang pada kira-kira setengah dan sepertigapasien DHF, secara
berurutan. Masa trombin memanjang pada kasus berat. Fungsi trombosit juga telah
terganggu. Kadar komplemen serum, terutama C3, berkurang.
Temuan umum lain adalah hipoproteinemia (karena kehilangan
albumin), hiponatremia, dan peningkatan kadar aminotransferase aspartat serum.
Asidosis metabolik sering terjadi pada syok lama. Nitrogen urea darah meningkat
pada tahap akhir syok. Pemeriksaan rontgen dada menunjukkan efusi pleural,
kebanyakan pada sisi kanan, sebagai temuan tetap, dan efusi pleural luas
dihubungkan dengan beratnya penyakit. Pada syok, efusi plerural bilateral
adalah temuan umum.
9.
Komplikasi dan manifestasi takunum
Dengan makin umumnya infeksi dengue, peningkatan jumlah kasus
DF atau penyakit seperti DHF telah dihubungkan dengan manifestasi takumum (WHO,
1999). Manifestasi ini termasuk fenomena sistem saraf pusat seperti kejang,
spastisitas, perubahan kesadaran dan paresis transien. Bentuk kejang halus
kadang terjadi selama fase demam pada bayi. Kejang ini mungkin hanya kejang
demam sederhana, karena cairan serebrospinal ditemukan normal pada kasus ini.
Intoksikasi air akibat dari pemberian cairan isotonik berlebihan untuk
mengatasi pasien DHF/DSS dengan hiponatremia dapat menimbulkan ensefalopati.
Pasien dengan ensefalopati sebagai komplikasi dari koagulasi intravaskular
diseminata juga telah dilaporkan.
Pasien mati dengan manifestasi neurologis telah dilaporkan di
India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Puerto Riko, dan Thailand. Sementara telah
ada beberapa laporan tentang isolasi virus atau anti-dengue IgM dari cairan
serebrospinal, sampai kini tidak ada bukti keterlibatan langsung virus dengue
dalam kerusakan neural. Perdarahan intrakranial dapat terjadi, dan herniasi
batang otak karena edema serebral pernah ditemukan. Pada umunya, pasien yang
telah meninggal dengan tanda atau gelaja neurologis belum menjadi subjek untuk
studi sutopsi. Baik studi makro dan mikroskopik adalah penting untuk menentukan
sifat dan etiologi manifestasi neurologis yang menyertai penyakit DHF/seperti
DSS fatal.
Perawatan sangat hati-hati harus dilakukan untuk mencegah
komplikasi iatrogenik dalam pengobatan DHF/DSS, untuk mengenalinya dengan cepat
bila terjadi dan untuk tidak keliru terhadap komplikasi iatrogenik yang dapat
dicegah dan diatasi dengan temuan DHF/DSS normal. Komplikasi ini termasuk
sepsis, pneumonia, infeksi luka, dan hidrasi berlebihan. Penggunaan jalur
intravena terkontaminasi dapat mengakibatkan sepsis Gram-negatif yang disertai
dengan demam, syok dan perdarahan berat; pneumonia dan infeksi lain dapat
menyebabkan demam dan menyulitkan pemulihan. Hidrasi berlebihan dapat
menyebabkan gagal jantung atau pernapasan, yang mungkin dianggap keliru dengan
syok.
Gagal hepar telah dihubungkan dengan DHF/DSS, terutama selama
epidemik di Indonesia pada tahun 1970-an dan epidemik di Thailand pada tahun
1987. Gagal hepar ini mungkin karena keberhasilan resusitasi pasien dengan
gagal sirkulasi berat, atau karena dengan tropisme hepar tak lazim karena
strain viral tertentu. Serotipe virus dengue 1, 2, dan 3 telah diisolasi dari
pasien yang meninggal karena gagal hati, dengan infeksi dengue primer maupun
sekunder. Hepatosit nekrosis ditemukan meluas pada beberapa kasus ini. Antigen
dengue terdeteksi pada hepatosis, pada sel-sel Kupffer dan kadang pada sel
inflamasi akut. Temuan histopatologis dibedakan dari temuan yang terlihat pada
sindrom Reye. Apakah cedera hepar karena efek langsung infeksi dengue atau
respons penjamu terhadap infeksi, masih diselidiki. Ensefalopati yang
berhubungan dengan gagal hepar akut umum terjadi, dan gagal ginjal adalah
kejadian akhir yang umum.
Manifestasi takumum lain yang dilaporkan mencakup gagal
ginjal dan sindrom uraemik hemolitik, kadang pada pasien dengan kondisi dasar
mis, defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan hemoglobinopati.
Infeksi bersamaan seperti leptospirosis, hepatitis-B virus, demam tifoid, cacar
dan melioidosis, telah dilaporkan dan dapat memperberat manifestasi takumum
dari DHF/DSS.
10.
Pertahapan keparahan demam berdarah dengue
DHF diklasifikasikan menjadi empat tingkatan keparahan,
dimana derajat III dan IV dianggap DSS (WHO, 1999). Adanya trombositopenia
dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II DHF dari DF. WHO
(1999) mengklasifikasikan menjadi empat tingkatan yaitu :
Derajat I : Demam
disertai dengan gejala konstitusional non-spesifik; satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes tourniket positif dan/atau mudah memar.
Derajat II :
Perdarahan spontan selain manifestasi pasien pada Derajat I, biasanya pada
bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.
Derajat III : Gagal
sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta penyempitan
tekanan nadi atau hipotensi, dengan adanya kulit dingin dan lembab serta
gelisah.
Derajat IV : Syok hebat
dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi.
Pentahapan keparahan penyakit pada waktu pemulangan telah
menunjukkan manfaat secara klinis dan epidemilogis pada epidemik DHF pada
anak-anak di Wilayah WHO Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, dan
pengalaman di Kuba, Puerto Riko dan Venezuela menunjukkan bahwa pentahapan juga
bermanfaat untuk kasus orang dewasa (WHO, 1999).
Comments
Post a Comment